Pribadi yang Ringan


Pembuka

Saat tercetus kalimat pribadi ringan ini, yang terbayang di benak saya tidak lain adalah sosok ulama kharismatik Buya Hamka. Visualisasinya dibantu lewat berbagai karikatur dan photo beliau di beberapa cover buku karangannya, yang berwajah santun, senyum lebar nan teduh, mencerminkan sosok yang ringan memandang hidup, walaupun beban tak terhingga beratnya, sebab terbiasa menanggung persoalan ummat. Lebih jauh lagi, sosok baginda Nabi, yang tentu tak dapat dibayangkan wajahnya, hanya ditelusuri dan direka-reka melalui penjelasan dalam Syamail Muhammadiyah. Sebab tak boleh ada yang memvisualisasikannya dalam karya rekaan nyata, baik karikatur apalagi film kartun. Ia begitu agung nan suci, hingga siapa saja yang menemukan wajah nya dalam tidur (mimpi) maka benarlah ia telah menjumpainya, syetan tak satupun bisa menyerupai. Sosok baginda Nabi SAW hanya bisa dirindui, semakin memuncak kerinduan, saat kita begitu butuh semisal keadilan yang dulu ditegakkannya. Dari kisah perjalanan hidup baginda Nabi, siroh dan tarikh tentang pribadinya, ia begitu ringan memberi bantuan, ringan memaafkan, selalu bersikap meringankan yang lain, serta ringan memandang materi dan dunia. Kisah ini bisa ditemui dalam bab pembahasan dakwah Nabi di Thoif (Syeikh Safiyyurrahman Mubarokfuri, 2001 : 181)

Pribadi ringan yang saya maksud kurang lebih demikian, yang tak memandang segala sesuatu terlalu serius jika urusannya bukan tentang akidah atau kemusyrikan. Persoalan selain itu, seperti pekerjaan misalnya, prestasi belajar, apresiasi atau penghargaan, amanah atau peran yang diberikan – kepercayaan tegasnya, itu dipandang ringan saja, jangan membuat diri terbebani. Saya katakan begini, sebab ada, mereka yang hati nya merasa dihimpit batu berat, kepalanya menjadi pusing, emosi meninggi hingga meluap, hanya karena persoalan prestasi belajar / bekerja yang tersaingi. Yang dalam pikirannya, ia adalah kelas nomor dua bahkan kelas nomor sekian daripada yang terpilih itu. Begitu dominan watak kompetisi dibenaknya. Atau dia cemburu.


Cemburu

Mengartikan cemburu, tentu paling mudah menganalogikannya pada sepasang kekasih yang saling mencintai, pernah merasakan ? . Ada pepatah, seorang wanita bisa memendam cintanya hingga ribuan tahun, namun tak bisa menyembunyikan cemburu barang sedetik. Terhadap prestasi kerja dan kemampuan seseorang pada taraf tertentu, kiranya wajar dicemburui, karena itu akan mendorong pada sikap fastabiqul khayrat, ini dianjurkan dalam Al Qur’an. Namun rasa cemburu perlu dikanalkan, dialirkan arusnya agar tersalur pada bejana yang menhasilkan, produktif. Jangan sampai salah penyaluran, atau malah dibiarkan tanpa kendali. Karena cemburu, adalah bagian dari emosi, persoalan hawa nafsu. Kaidah hawa nafsu dalam Islam, telah terang disampaikan melalui Q.S Yusuf ayat 53.  Jika nafsu (emosi jiwa) bisa dikendalikan, dikatakannya sebagai nafsu yang dirahmati Allah.

Cemburu yang dikendalikan mengarahkan pada produktifitas amal, ini yang akan memetik hikmah selanjutnya dalam Q.S Al Mulk ayat ke 2. Bahwa sejatinya kehidupan manusia diciptakan untuk membuktikan siapa diantara kita yang lebih baik amalnya. Kalimat ini bernada superlative, tentu tidak banyak yang terkualifikasi didalamnya, namun tidak mengartikan kesempatan yang sempit, melainkan peluang yang terhampar di berbagai lapangan kerja lainnya. Jadilah yang terbaik di bidang mu. Kalau kesadaran kita mencapai titik ini, bukan kah terasa ringan ? . Menjadi yang terbia di bidang yang kita tekuni, artinya mengumpulkan energy dan kesungguhan untuk meraih ahsanu amala, yang perlu diluruskan adalah tujuannya, yakni karena Allah saja. Karena kita tahu bahwa Allah Tuhan kita ini, memang menyerukan hal itu dalam Al Qur’an. Sehingga dasar gerakan kita selalu Qur’ani.

Pribadi yang ringan beban dapat juga dimaknai sebagai pribadi yang selalu bergantung dengan benar, menyandarkan segalanya pada Dzat yang hak untuk dijadikan sandaran dan tempat bergantung. Jiwa nya akan ringan, karena ia tak pernah bergantung pada dirinya sendiri, radar kesadaran dinyalakannya bahwa Allah itu Ash-Shomad, keyakinan inilah yang juga menjadi landasan tauhid. Kita dapatkan penjelasannya dalam Q.S Al-Ikhlas. Orang yang telah mengenal sifat Ash-Shomad nya Allah (tempat bergantung), di setiap persoalan akan mendahulukan tawakal, kemudian berikhtiar keras, jauuuh dan maksimal dalam bimbingan-Nya, dalam petnjuk dari-Nya hasil dari tawakal itu. Sifat ini diterangkan dalam Q.S At Talaq ayat ke 3 sebagai karakter dari seorang Muttaqin, yang kemudian Allah janjikan jalan keluar dari persoalannya, Allah berikan rizki dari arah yang luput dari perhitungan, dan mereka yang bertawakal akan Allah cukupkan (segala keperlaunnya itu),  “… Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu”.

Bersambung,
Jakarta, 23 Maret 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEBAGAI INSTRUKTUR KAMMI (1)

Harusnya, Munadzomun Fii Syu'unihi

SEBAGAI INSTRUKTUR KAMMI (2)