PENGANTAR DARI PENGANTAR GERAKAN POLITIK EKSTRA PARLEMENTER (part. 1)



Pertama kali mendapati buku Gerakan Politik Ekstra Parlementer yang ditulis oleh Saudara Faqih Addien Al Haq, kami merasa perlu untuk memahaminya sebagai bahan interpretasi paradigma gerakan KAMMI –salah satu dari tujuh butir filosofi gerakan yang harus dipahami pada setiap awal fase pengaderan-.  Maksud lain secara ideologis, memang bertujuan agar kader KAMMI memiliki referensi dengan suhu kekaderan yang relative tidak terlalu jauh, sebagai saudara kandung gerakan KAMMI.  Akan tetapi sedikit imbuhan yang tidak cukup dimengerti di awal, lantaran Faqih membubuhkan keterangan “Strategi Pengawalan Kebijakan dan Advokasi Anggaran”. Hal ini diakui oleh beberapa pembaca, di komisariat, setelah membeli buku tersebut. Bahkan di sebagian isi buku, lebih kental dirasakan sebagai buku panduan menjadi anggota dewan atau buku panduan akademis bagi mahasiswa ilmu politik dan pemerintahan, contohnya pada bab pertama yang diberi judul “Sistem Tata Negara dan Eksperimen Pemerintahan Indonesia”.  Akan tetapi maksud itu sangat terbaca setelah mengetahui latar belakang penulis sebagai calon Sarjana Eknomi Islam –tertera di bagian akhir buku-, yang berusaha menumbuhkan tradisi keilmuan sebagai basis pembangun gerakan politik ekstra parlementer.[1] Nampaknya, Faqih sangat percaya bahwa ekspertise keilmuan mahasiswa dapat menjadi satu kekuatan maha hebat yang membangkitkan kesadaran untuk bergerak, menyusun agenda gerakan secara sistematis dan bernafas panjang. 

Isi buku ini, ditulis dengan lebih banyak menggunakan  pendekatan empirik – rasional. Dimensi iman, iklim religious serta spiritualitas penulis akan dijumpai pada pengantar buku dalam bagian yang diberi judul “Terima Kasih,” berisi sebuah gambaran akan keluarga Muslim dengan tradisi intelektual serta penekanan akan Islam sebagai manifesto gerakan bukan utopia dan rekaan –rekaan imajinasi semata. Kesan transenden yang kuat terdapat pada lembar pertama setelah sampul yang mengesankan Allah SWT dengan tunggalnya kalimat, tertulis sendiri, dan hanya satu nama, Allah saja, “Untuk Allah…”. Sebuah ungkapan tegas yang mengikat ikhlas, bahwa segala hasil olah pikir dan rasa adalah persembahan untuk kebaikan dan kemajuan generasi yang dititipkan Allah SWT; bahwa setiap deretan kalimat yang ditulis adalah wujud dari dilaksanakannya perintah yang berlapi-lapis dari-Nya, perintah Iqra’, mengamal ayat ‘allamahul bayan, ‘allamal insaanu maa lam ya’lam, ‘allama bil Qolam. Satu kaliamat itu (juga) menjadi ekstraksi kesadaran akan sumber keseluruhan peristiwa, yang pada akhirnya menjadi muara arus seluruh yang ada. 

Secara keseluruhan, buku ini memberi keterangan cukup banyak ihwal keuangan publik. Bagaimana Negara melakukan pengelolaannya ?, kemana saja saluran keuangannya ?, sampai pada peran serta hak rakyat terhadap perputaran uang tersebut. Diawali dengan telaah pembelajaran akan system tata Negara yang ditulis seperlunya, serta desentralisasi kekuasaan dan lahirnya otonomi daerah.  Memang cukup rumit untuk dipahami pembaca pemula atau Anggota Biasa 1 (AB 1) KAMMI yang baru merangkak cinta baca melalui Mantuba-nya. Alih-alih harapan untuk dijadikan buku rujukan kader –sebagaimana harapan Faqih-, buku ini memiliki tingkat kompleksitas pemahaman yang cukup tinggi sehingga tidak cukup dibaca “salancaran”, perlu dibaca berulang dalam menyerap informasi dan mendapatkan inspirasi darinya. Namun, alur berpikir yang runut –sederhananya ditinjau dari daftar isi- sangat membantu para pembaca dalam memahami maksud utama yang ingin dibedah oleh penulis. Sangat lebih jelas ketika membaca bagian prolog, yang bertindak sebagai pengantar positif dalam mengungkap realitas sejarah gerakan mahasiswa yang berakar pada kesadaran berbangsa dan bernegara. Penulis terlihat begitu sangat apik dan berusaha menempatkan posisi mahasiswa di titik paling kritis pasca terjadinya Reformasi. Inilah yang diungkapkan Faqih sebagai latar belakang penyusunan buku tersebut. 

Tulisan ini dibatasi untuk menyederhanakan jalan pikiran pembaca buku Gerakan Politik Ekstra Parlementer, sebelum benar-benar membaca bukunya. Sehingga dapat menyiapkan energy pikir yang cukup, untuk memilah inspirasi, mana yang dapat diamalkan hari ini, mana yang menjadi rekomendasi jangka pendek dan menengah, mana yang akan menjadi investasi pengetahuan dan ketrampilan kemudian. Bagi kader gerakan , fokus perhatian dapat bertumpu pada sejarah keluhuran gerakan mahasiswa, keruntuhan dan melemahnya gerakan mahasiswa serta sebab-sebab yang dapat dipelajari secara sepintas.

Keterangan atas tujuan penyusunan buku guna membangun ulang kekuatan mahasiswa dalam gerakan politik ekstra parlementer, berpapasan dengan realitas aktivisme yang telah mengendap dan mengalami kebekuan wacana. Sehingga menuntut perjuangan yang tidak mudah dalam realisasinya, masih di dalam prolog buku, Faqih mengkategorisasi sebab kesulitannya kedalam empat indicator. Sebab pertama ialah vakumnya gerakan politik ekstra parlemen yang cukup lama oleh mahasiswa dan dijauhkannya dari relasi kuasa dan pengendali kebijakan,[2] baik di tingkat pusat ataupun daerah. Kondisi ini yang menyebabkan gerakan mahaiswa menjadi gagap dan kehilangan kesadaran dalam mengawal pemerintahan yang berkuasa.  

Kedua, banyak diantara mahasiswa yang menikmati peran social dalam membantu masyarakat ekonomi kelas bawah. Aktivitas social ini lebih banyak ditunjukan melalui penyelenggaraan pendidikan alternative,[3] juga pembagian sembako ataupun bantuan lainnya. Hal ini tidaklah disalahkan, sebab justru sebagaian besar dari anggota KAMMI di tingkat komisariat telah menjadikan aktivitas ini menjadi suatu program rutin sebagai ejawantah dari syaksiayah Islamiah – Harakiyah nya. Atau bahkan telah dikelola menjadi sebuah embrio desa binaan, tempat dimana kader dapat mengabdi kepada masyarakatnya. Sejalan dengan Tri Dharma Pengguruan Tinggi, yang sudah tentu menjadi mission setiap mahasiswa. Perilaku social yang dikembangakan melalui kepedulian ini di lain waktu dapat juga menjadi sayap pertumbuhan kuantitas anggota KAMMI. Kegiatan social masyarakat dengan santunan pada warga ekonomi kelas bawah juga pendidikan alternatif, seringkali ampuh dalam mengelabui para mahasiswa anti gerakan; para mahasiswa yang telah lebih dulu dikelabui angka dalam IPK.  

Ketiga, krisis kepercayaan terhadap gerakan mahasiswa, baik dari gerakan mahasiswa nya itu sendiri ataupun dari masyarakat luas, kepercayaan terhadap gerakan mahasiswa sebagai actor perubahan nyaris hilang. Dalam bahasa asli penulis sebab ketiga ini diistilahkan “pesimisme yang merebak,” yang pada intinya berbagai pihak telah pesismis, mengakui “ketidak mampuan gerakan mahasiswa di era ini untuk membawa gagasan baru dan mendorong sebuah perubahan di tataran elit politik.”[4] Anggapan ini tidak lepas dari pengamatan terhadap gerakan mahasiswa dalam  (sedikitnya) lima tahun terakhir. Hampir sulit ditemukan, perubahan-perubahan kebijakan skala nasional yang berhasil di”gol”kan oleh gerakan mahasiswa. Andaikata ini kealpaan penulis, saya rasa, sederhananya dapat kita perhatikan dalam aksi besar skala nasional di 21 Februari lalu, saat tuntutan untuk menurunkan satu kepala daerah, digagas dan digerakan oleh seluruh elemen umat islam yang dimotori oleh kaum agamawan dan para ulama. Gerakan mahasiswa pada saat itu –khususnya gerakan mahasiswa Islam- berpecah pandang, antara yang memilih terlibat secara terang-terangan, seperti yang dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa Islam, ataupun memilih secara sembunyi-sembunyi dengan dengan bergabung pada aliansi lain, seperti yag dilakukan oleh KAMMI. Walaupun di aksi aksi berikutnya KAMMI pun menjadi bagian dari garis terdepan. Namun fenomena ini sedikit menggambarkan tentang kelemahan gerakan mahasiswa dalam menggagas suatu perubahan di ttaran elit pemerintahan. 

Keempat, anggapan pesimistik tentang gerakan mahasiswa yang bernaasf pendek. Seringkali gerakan mahasiswa memiliki tingkat ketidak berartian yang sangat tinggi dibandingkan dengan kumpulan-kumpulan hobi atau komunitas lainnya. Anggapan di kalangan mahasiswa, bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan jangka pendek yang tidak memiliki efek manfaat yang jelas dan signifikan, manfaat yang tidak dapat dirasakan secara langsung, berbeda dengan organisasi hobi atau komunitas penyalur bantuan. Memang, gerakan mahasiswa yang mengakar akan sulit mendapat definisi singkat. Dalam bahasa Faqih, diterangkan, “Padahal gerakan mahasiswa adalah pembibitan visi dan misi kehidupan pribadi serta sebuah eksperimen awal kehidupan social politik yang lebih dewasa”. Makna inilah yang tidak mudah terungkap secara instan, bahkan oleh pelaku gerakan mahasiswa itu sendiri. Kita harus dapat membedakan antara komunitas penyalur hobi, dan organisasi pergerakan yang memiliki system dan alur cukup panjang dalam membentuk anggota / pengikutnya –organisasi pengaderan-.  

Kategorisasi sebab kelemahan gerakan mahasiswa ini menjadi suatu upaya penyadaran akan cita-cita besar reformasi, yang bukan sebuah lari jangka pendek, melinkan “marathon panjang yang dimulai oleh gerkan politik ekstra parlementer oleh mahasiswa dan harus diselesaikan oleh gerakan mahasiswa pula”.
Bersambung …


[1] Diterangkan dalam bagian prolog, hlm. xxiv
[2] Hlm. xxiii
[3] Dalam teks asli tulisan di buku, disebutkan pendidikan non formal, lebih sederhana karena makna sebaliknya dari pendidikan formal. Sedangkan pendidikan laternatif yang dimaksud bermakna berbagai kegiatan yang mendidik, baik itu berupa komunitas seni, sanggar kebudayaan, atau aktifitas penyaluran hobi lainnya yang beragam namun memiliki tujuan utama mendidik manusia.
[4] Hlm. xxiv

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEBAGAI INSTRUKTUR KAMMI (1)

Harusnya, Munadzomun Fii Syu'unihi

SEBAGAI INSTRUKTUR KAMMI (2)