SEBAGAI INSTRUKUR KAMMI (3); Menyumbang Sepenggal Epilog

Mengelola DM3 ke-3 dan Menjejak Kepri kali ke-3

(Tulisan ini memang hanyalah sepenggal Epilog yang diminta panitia. Diawali cerita, semoga ada manfaat bagi yang membaca) 

Tidak butuh waktu lama memutuskan keberangkatan pada tugas besar kali itu. Setelah dimanjakan dengan pesona sejarah alam melayu di Pulau Batam, suatu tempat dimana kita dapati pintu Doraemon menuju Singapura. Batam juga meninggalkan jejak sejarah yang agung, sebagai bagian dari wilayah kemaharajaan melayu yang memberi  pengaruh besar pada permulaan Islam di tanah air. Di kesempatan itulah secara khusus, ketua Korps Instruktur Wilayah Kepri yang tidak lain adalah sahabat saya, menyampaikan surat tugas, dengan lisan pun ia pertegas "DM3 akan dilangsungkan bulan depan, tolong kau datang". Sehingga itu adalah kali ketiga di Kepri, setelah TFI khusus Batam tersebut dan TFI Kepri yang pertama kali digelar di Poyotomo Pulau Bintan, 2018 silam.

Mengelola DM3 jika sesuai pada tertib keinstrukturan, menempati kelas puncak saat Instruktur berstatus IK3. Tentu saja klasifikasi itu beralasan, yang tidak lain demi ketertiban pengelolaan dauroh atau pelatihan di KAMMI. Bermula pada 2017 lalu saat pertama kali harus menjadi pelaksana pelatihan tingkat tiga, di wilayah sendiri. Gentar hati menyikapi, tak ringan jiwa ini menghadapi, namun mau bagaimana lagi, waktunya telah tiba, sebagaimana segala hal yang memiliki ajal. Tidak ingin minimalis apalagi mengecewakan, maka saya belajar keras, sehingga tugas mengelola DM3 pertama itu akhirnya bukan di Jakarta, melainkan Jawa Tengah, ini saya abadikan dalam tulisan bertajuk "Jateng Terimakasih, Aku Mulih".
Pembelajaran sebagai instruktur tamu saya tekuni betul, sebab saya sadar sepenuhnya, pelaksanaan HI di pusat maupun wilayah belum dapat memfasilitasi dengan baik. HI Nasional baru pernah digagas (akhirnya) setelah itu, setelah tangan ini  beramanah sebagai salah satu pemegang kewenangan Instruktur tingkat pusat. DM3 Jateng yang berlatar karaharjaan kartasura, membekali banyak inspirasi yang berguna untuk dibawa pada lapangan tugas yang utama di Jakarta. Lalu terselenggaralah DM3 PW Jakarta pertama dalam kelolaan kedua rekam jejak keinstrukturan saya, tugas sentral saya emban karena memang tidak ada lagi yang memenuhi tertib dan etik IK 3 (saat itu, sekarang banyak).

Dua tahun berjarak dari keduanya, moment DM3 memang tak serapat DM1, saya ragu dan kaku. Permintaan untuk menjadi fasilitator FGD dalam agenda puncak pengkaderan di KAMMI, perlu pengayaan, pendalaman, penghayatan, dan kekhusyuk-an, untuk menjalaninya. Saya review berbagai keterampilan, mulai dari menejemen forum, menejemen SDM sampai pada strategi spiritual untuk mendukung tercapainya tujuan pelatihan (dauroh). Menejemen SDM selain berkaitan dengan asessment input pelatihan dari sisi kepesertaan, juga karena saat DM3 kita berhadapan dengan segudang kekayaan internal kader yang tidak boleh dikesampingkan. IK3 perlu terampil melakukan sinkroniasi kepribadian, kompetensi dan taraf pemahaman falsafah gerakan yang dimiliki peserta pada output ber-istilah syaksiyah qiyadiyah as-siyasiyah (hehe). Sepanjang dua tahun itu keterlibatan saya dalam pelatihan, memang hanya di pelatihan-pelatihan pengkaderan (DPMK atau TFI), sampai berpuluh kali kiranya membawakan, sampai tak perlu lagi slide dan panduan tertulis untuk menyampaikan pada peserta pelatihan. Artinya memang tidak ada keterampilan yang baik kalau dalam dauroh tingkat 3. Dengan kesiapan yang compang camping itulah saya bertugas. Lalu bagaimana kesan yang terjadi di Kepri ? Kita lanjutkan ...


Merawat Warisan Leluhur

         Dalam tradisi jahiliah, hal yang menyangkut warisan leluhur atau nenek moyang ini adalah sesuatu yang sakral, rela mati untuk mempertahankannya. Tak jarang menjadi buta mata dan tidak menerima perubahan, sekalipun itu lebih baik. Quraisy adalah suku bangsa yang terkenal kuat menjaga warisan leluhur, mereka disebutkan dalam sebuah hadist nabi sebagai suku bangsa yang unggul karena tiga hal, karena Rosulullah Muhammad berasal dari suku tersebut, juga karena keteguhannya memegang prinsip, ini adalah dua diantaranya. Sampai perilaku paling jahiliah yang bi-adab pun masih dijaga oleh bangsa Quraisy, yaitu tidak mau menerima ajaran yang dibawa oleh putra kemenekanya sendiri, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdi Manaf dst. Walau telah menyandang gelar Al Amin di usia muda, menjadi kebanggaan sebangsa, namun tatkala ia membawa ajaran yang menyalahi ajaran nenek moyang, disitulah Muhammad SAW menjadi musuh bersama. Bahkan oleh familinya sendiri.

Quraisy hanya salah satu potret kehidupan berbangsa yang Allah kisahkan dalam Al Qur’an secara eksplisit, untuk menjadi pelajaran bagi seluruh ummat yang membaca dan mempelajari Al Qur’an. Sebab siapa saja yang berpegang teguh pada apa yang Allah kata kan dalam kitab suci-Nya, sesungguhnya ia telah mendapat kebaikan yang besar. Maka, tidak heran jika 2/3 dari isi Al Qur’an adalah kisah-kisah orang terdahulu. Ini menjadi pelajaran kita dalam praktik kebangsaan, bagaimana Melayu mempertahankan eksistensinya sebagai sebuah Negeri atau kerajaan, hingga bergeser secara maknawi menjadi sebuah suku bangsa. Namun, bentuk nomenklatur wilayah bukanlah sebagai esensi yang akan kita bahas dalam tulisan ini.

Tanah melayu termasyur memiliki pengaruh besar atas tingginya peradaban manusia Indonesia. Hal itu tidak lain dari kehadiran Islam yang tegak dalam masyarakat dan mewarnai seluruh aspek kehidupan berbangsa. Konon sejak abad ke 7 Masehi para pedagang arab telah melakukang ekspansi dagang mereka sampai memasuki wilayah timur Asia. Berbagai bukti sejarah menguatkan data-data yang menjadi bahan para peneliti dalam menulis jejak penyebaran Islam di Nusantara. Diantara buku yang shahih menjadi referensi misalnya, Dari Perbendaharaan Lama, yang ditulis oleh tangan emas Buya Hamka, atau lebih khusus buku Sejarah Melayu, yang ditulis oleh seorang peneliti putra kandung melayu, sekaligus Wali Kota Batam, Ahmad Dahlan, Ph.D. Buku kedua ini dalam pandangan kami, merupakan buku yang cukup komprehensif membahas Kemaharajaan Melayu,dibanding dengan buku sejarah Melayu lain yang pernah ada. Dengan tebal sekitar 700 halaman lebih, Ahmad Dahlan berhasil mengungkap kejayaan Tamaddun melayu yang terbentang sepanjang Riau-Lingga-Johor-Teumasik dan wilayah serumpun lain di sekitarnya. Sayang sekali, buku yang pada cetakan pertamanya sudah terjual 2000 eksemplar ini, tidak selesai saya habiskan di moment DM3 yang singkat dan padat itu. Namun walau begitu, kami puas karena dapat mengunjungi langsung jejak kebesarannya hingga ke pulau penyengat Inderasakti, menapaki benteng bukit kursi, Masjid Sultan, pemakaman Engku Puteri Raja Hamidah dan pemakaman beberapa Sultan yang bergulir memerintah Kemaharajaan Melayu. Kami, cukup berhasil mendapatkan penghayatan akan kejayaan Islam di Melayu kala itu, dengan dikuatkan oleh adat dan tradisi masyarakat setempat, disamping beberapa monumen dan tempat tersebut. Sederet bukti sejarah itu, tidak akan bermakna apa-apa tanpa aktor budaya yang tekun merawatnya. Baik jejak fisik ataupun jejak kebudayaan yang dirawat dengan tak sungkan menggunakan. Bahasa melayu, menurut Dahlan, disebut sebagai unsur budaya yang berperan sangat penting sebagai pemersatu. Ia mengungkap dalam konvensi Tamaddun Melayu di Johor 2015 lalu, setidaknya ada 350 juta jiwa yang masih menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa tutur, dan menempati posisi ke 5 sebagai bahasa tutur dunia setelah bahasa Mandarin, Inggris, Arab dan Spanyol.


DM 3 KAMMI dan Upaya Merawat Tradisi 

Di hari ke empat pelatihan, panitia menghadirkan Dr. Abdul Malik untuk mengampu salah satu materi local wisdom, dengan judul yang skripsi-able tentang Pengaruh Kerajaan Melayu terhadap Perkembangan Islam di Nusantara. Pada sesi ini, seluruh komponen dauroh dianjurkan untuk mengenakan pakaian adat Melayu baik lelaki ataupun perempuan, dengan backsound lagu lancang kuning, lagu Tanjung pinang dan lagu melayu lainnya menambah khusyuk pembelajaran. Pak Malik dalam pandangan kami, berhasil menghadirkan bobot sejarah dengan wibawa, elegan tanpa kehilangan sifat jenaka nya. Jangan ditanya bagaimana respon peserta kala itu, seluruhnya tergugah antusias menjiwai keluhuran Tamaddun Melayu.

Sebagai perangkat dauroh tentu saya sangat mengapresiasi ikhtiar ini. Bisa dikatakan ini sebagai terobosan langka di moment pelatihan puncak dalam alur pengkaderan KAMMI. Walau telah menjadi muatan wajib dengan metode studi lapangan, kiranya kehadiran pakar Budaya menambah nikmat cita rasa dauroh, menghadirkan penghayatan yang asyik bagi seluruh subjek dauroh bukan hanya peserta. Field trip ke penyengat yang saya singgung sebelumnya, bukanlah semata wisata tanpa rekayasa, ia disetting oleh MoT dan jajarannya sebagai bagian dari dauroh untuk menemukan bukti sejarah sekaligus menggali informasi lebih lengkap dari para kuncen penjaga, yang tidak lain ialah cucu cicit keturunan Sultan kesekian. Barulah ditutup dengan essay sekali duduk, untuk menuangkan ilham para peserta selama dauroh berlangsung, yang kelak menjadi buku ini. Rasanya, sepanjang kelana penugasan di dm3, belum saya temui metode semacam ini. Walau ramai di tataran ide yang mengusulkan, membincangkan, merencanakan, namun kemudian usang karena rendahnya kerjasama atau luputnya kesungguhan, atau semata karena Allah belum berkehendak (hehe).

Atas nama instruktur kiranya sah, jika saya rekomendasikan konsep ini direplikasi pada dauroh tingkat tiga lainnya di berbagai wilayah kesatuan (KAMMI). Saya yakin sejarah adalah guru terbaik yang bijak dalam memberi pelajaran, mendukung cara Allah SWT mengajari manusia, dengan muatan sejarah di 2/3 Al Qur’an. Bayangkan, jika sedikitnya 15 PW KAMMI yang mampu menyelenggarakan DM3 dan melakukan pendalaman akan sejarah lokal di bangsanya, bagaimana barisan AB3 ini berderap, bahu membahu membangun ulang peradaban bangsa. Kiranya itulah diantara tujuan dari kurikulum pelatihan ini, bahwa kompetensi seorang Negarawan dibangun melalui berbagai aspek pemahaman, keterampilan serta penghayatan akan nilai dan sejarah kejayaan. Berbagai teori bernegara, eksistensi Islam sebagai sistem hidup, bahkan payung pemerintahan saja tidak cukup sebelum ada hikmah yang dipetik dari kisah-kisah lokal yang berserakan. DM3 hendaknya mampu mengakomodir, sekaligus menjadi konklusi pemikiran setiap kader, menjadi puncak masa pelatihan sebelum mengemban tugas real sebagai Negarawan.

Tradisi adalah warisan leluhur yang membangun ke-adaban manusia setempat, dalam disiplin ilmu ushul fiqh saja ia bisa menjadi sumber hukum sebagai al ‘urf, selain ijtihad dan ijma’ ulama. Tentu yang baik saja yang boleh dirawat dan dilestarikan, yakni yang tidka menyalahi prinsip-prinsip Islam. Sebagai tanah pertama yang menerima Islam, Melayu tentunya memiliki akar tradisi yang kuat bersumber dari ajaran Islam. Misalnya di dunia pendidikan, salah satu pakar Pendidikan Islam, Dr. Adian Husaini menobatkan salah satu tradisi melayu sebagai sumber kurikulum pendidikan Islam, yang dimaksud adalah Gurindam. Termasyur karangan Raja Ali Haji itu dengan sebutan Gurindam 12 yang memuat wasiat peri kehidupan sebagai manusia beradab. Berbalas pantun, yang juga tradisi masyarakat melayu rupanya mengandung adab moral luhur dalam menyampaikan pesan bahkan kritik terhadap sesama. Dapat dilihat  kalimat-kalimat pantun, umumnya bercangkang perumpamaan kan?. Di DM3 perdana kepri, cara ini pun dipakai.


Struktur Anatomi Pelatihan

Penting disadari oleh seluruh elemen pengkader, khususnya Instruktur dauroh, bahwa setiap pelatihan akan memiliki struktur khusus yang membangun kerangka berpikir peserta. Bahkan hingga pada taraf pemahaman dan afiliasi gerakan. Terlepas dari perdebatan mengenai relevansi gerakan yang dibahas, saya selalu mengambil sebagian inti yang bersifat fundamental, sebagai benih gerakan. Tidak sedikit pelatihan di KAMMI yang jauh dari harapan kaitan dengan input maupun output peserta, namun pelatihan tetaplah sarana ta’dib dengan serangkaian standar yang telah dibaku-kan. Anatomi pelatihan yang saya maksud ialah komponen materi selama pelatihan berlangsung, ia bertolak pada kejayaan Islam sebagai grand desain kemanusiaan yang pro perdamaian, tidak diskriminatif dan menjadi payung hukum bagi penduduk dunia. Kami sama sekali tidak ingin ada kesan berbahaya bagi siapa pun, sebab kata itu tidak ada dalam kamus Islam yang sebenarnya. Cinta kasih, saling menyayangi, menjunjung tinggi persahabatn serta keadilan yang tegak dan menjaga keamanan sesama adalah nilai utama dalam Islam. Kendati ada yang terdefinisi sebagai musuh, semata itu diidentifikasi demi menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.

Kajian bernegara yang seringkali saya anggap se-berat kajian mahasiswa HTN mulai terbiasa menjadi konsumsi para peserta pelatihan, dalam perspektif kitab suci, perspektif gerakan Islam yang debatable itu, lalu perspektif para filsuf dan ilmuwan di masing-masing sektor pembangunnya. Barulah kemudian meretas jalan reformasi gerakan, yang diawali dengan membedahnya secara epistemologi. Bobot diskusi akan lebih banyak, bertujuan untuk menghasilkan gagasan-gagasan yang tajam. Dalam bahasanya Pak Amin Rais, diskusi atau debat itu adalah saat dimana setiap orang membenturkan gagasan dengan gagasan, sehingga dihasilkan perasan ide yang terbaik dan mufakat untuk diaplikasikan, dalam bukunya Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia. Islam menempatkan hal ini sebagai satu diantara tiga metode dakwah yang dianjurkan, bil hikmah, wal mau-idzotil hasanah, wa jaadilhum billatii hiya ahsan, terjemahan lengkapnya ialah “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” Q.S An Nahl: 125
Bukan semata kekuasaan yang selama ini menjadi doktrin, memaknai kalimat khalifah rasanya kurang bijak jika hanya kekuasaan yang tidak jarang identik dengan rezim, (hehe, apa hanya aku saja). Namun makna khalifah yang dihendaki Allah melalui Al Baqoroh ayat 30 itu merupakan kemampuan manusia dalam mengemban tugas sebagai dirinya, sebagai anggota masyarakat, sebagai bagian dari sebuah bangsa, sebagai warga negara, serta sebagai komponen ummat, sebagai pengelola alam yang sesuai dengan sifat-sifat ketuhanan (sifat yang paling sempurna). Maka di ayat pijakan tamkin pun, yang dijanjikan Allah itu bahasnya bukan “Mulk”, melainkan “layastakhlifannakum fil Ardhi,”berakar pada khalifa, secara bahasa berarti wakil, wakil di Bumi. Ini penting untuk menjadi pijakan para ideolog KAMMI di sepanjang jalan perjuangannnya, bagaimana mendudukan iman dan amal sholih sebagai perkara utama, sebagai akad dengan Allah SWT yang menjanjikan keleluasaan peran setelah terbentuknya dua hal tersebut (iman dan amal sholih). Singkatnya, proyek sebesar apa pun saat ber-kammi, pekerjaan seberat apapun itu dalam gerakan ini, semua dalam rangka amal yang sholih, yang pas, yang sesuai dengan ap yang Allah mau, sehingga pantaslah Allah menyimpan janji pada mereka itu.

Tentang mengapa tidak ada Madrasah KAMMI untuk AB3, semoga dapat menjadi pembahasan lanjutan, sebagai ikhtiar perbaikan pola kaderisasi gerakan. “Allah, jadilah Engkau satu-satunya alasan dan tujuan kami dalam bergerak. Semoga limpahan berkah untuk kita sekalian. Salam Sehat dan Cermat ! ”

Jakarta, 17 Februari 2020

Emas Rahayu,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEBAGAI INSTRUKTUR KAMMI (1)

Harusnya, Munadzomun Fii Syu'unihi

SEBAGAI INSTRUKTUR KAMMI (2)