Harusnya, Munadzomun Fii Syu'unihi


Lama lama hidup ngalir itu memang bosan, serba dadakan, serba diluar perencanaan. Walaupun sebenernya saya ambisius, dengan tipe lebih selow.

Saya (cukup) terbiasa dengan sesuatu yang mendesak, sehingga semuanya serba harus terpenuhi dalam waktu yang cepat, terbiasa menyikapi sesuatu yang urgent, berpikir taktis - strategis.
Sedikit berbahaya jika ini tidak diimbangi dengan peranan otak kanan.

Jadi setiap persoalan itu memang perlu ditanggapi dengan cepat, tangkas. Apalagi jika persoalannya memang mendesak. Tidak jarang kelalaian menanggapi ini dampaknya bisa terkena ke seluruh anggota, jika si lalai nya itu adalah pimpinan.

Pernah terjadi di salah satu gerakan mahasiswa yang terbiasa menyelenggarakan acara-acara pelatihan skala Nasional. Pimpinan yang pada saat itu sebagai ketua Steering Commitee lalai dalam memutuskan setiap masukan dari anggotanya, akhirnya saat terdesak, waktu semakin dekat, sementara tempat acara belum ditemukan, anggota berinisiatif untuk membooking tempat mana saja yang bisa dibooking tanpa menunggu pertimbangan dari pimpinan yang lain. Alhasil, pasca acara terlilit hutang, karena kost tempat yang banget banget mahaal. Dan parahnya itu dibebankan pada seluruh warga organisasi. 2 turunan terancam kesejahteraannya.

Itu hanya bagian kecil, contoh kecil saja dari akibat kelalaian memberi keputusan.
Segala hal dalam kehidupan meniscayakan adanya persoalan, sementara dalam setiap persoalan,  tindakan memberi keputusan itu mutlak, sebab kita selalu perlu penyelesaian.

Kadang emang sebel, kalau saat minta saran, orang dengan enteng bilang "libatkan Allah, libatkan Allah". Ya itu benar, sangat benar. Tapi pelibatan Allah itu ya di semua nya, semua kehidupan, jangan dikotak-kotak. Itu prinsip yang Haq. Nih ya, orang itu tau kali, kalau setiap perkara perlu diselesaikan dengan Istikharah dan Musyawarah, sebab itu perintah Nabi. Dijelaskan bahwa tidak akan tersesat seseorang dalam urusannya jika ia menyandarkan pada dua perkara, istikharah dan musyawarah. Jadi artinya, dari sejak dia sadar keterangan ini juga itu sudah alamat kalau dia pakai perintah Allah. Melibatkan Allah untuk sekujur cerita hidupnya.
Namun yang dia butuhkan ialah benar-benar nasihat dari saudara seiman, pandangan-pandangan sederhana yang membuatnya merasa mendapat dukungan. Itu kebutuhan psikologis, yang sulit didapatkan kecuali dengan kehadiran seserang yang nyaman bersamanya. Kalau kita dipilih untuk tempatnya bertanya, ya berarti kita dipercaya dan kita nyaman untuknya.

Balik lagi pada soal perencanaan dan memberi keputusan. Dalam hidup, kan punya fase-fase nya. Kalau dalam psikologi perkembangan kan setiap fase dari rentang usia itu punya tugas perkembangan yang unik, dan setiap manusia normal harus menyelesaikan tugas perkembangan tersebut pada waktunya. Misal, tugas perkembangan _early childhood_ atau masa kanak-kanak awal itu bermain, menyerap informasi, dll. Setiap perkembangan menurut J.W Santrock itu dibedakan atas Kognisi dan Sosio-Emosi. Nah dua dua nya ini harus terpenuhi. Lalu tugas perkembangan masa kanak-kanak akhir,  remaja dengan masa dewasa awal itu beda, sampai pada manula.

Titik rawan biasanya ada pada fase peralihan, sebab mereka akan berganti identitas dan menunaikan tugas perkembangan lain. Dan menurut beberapa penelitian titik paling rawan itu ada pada masa peralihan antara masa remaja dengan dewasa awal, yang secara sosio-emosi mereka tengah memiliki insting, eh naluri, untuk menjalin hubungan kelekatan dengan lawan jenis. Simplenya, dalam sudut pandang psikologi, saat remaja seseorang memiliki kecenderungan untuk selalu berada dengan _peer_ grup nya, biasanya akan lebih nurut dan mementingkan teman sekelompok dari pada orang tua di rumah. Sedang setalah itu masa dewasa awal, dimana seseorang akan matang secara emosi, dan persoalan di luar dirinya pun akan bertambah lebih banyak, sehingga mulai membutuhkan orang lain yang secara emosional dapat memberikan respon positif. Hal ini tidak didapat jika tidak ada kecocokan satu sama lain. Yang berawal dari rasa tertarik, saling merasa ada ketertarikan yang selanjutnya dinamakan cinta rasa _sakinah.

Maka kalau di Islam, fase ini sudah diatur dengan disyari'atkan pernikahan. Dan menjadi wajib manakala seseorang tidak lagi mampu mengelola emosinya, tidak lagi mampu mengendalikan tekanan psikisnya, dan membahayakan secara fisik ataupun karir.

Kesimpulannya, hidup kita ini harus pake agama. Logika gak selamanya bisa diandalkan. Agama itu punya cara  bagaimana agar seseorang tidak terjebak dengan kekusutan berpikir. Cara memutuskan perkara: _antahkumuu bil 'adl,_ cara meraih keinginan: _faidza azamta fa tawakal 'ala Allah,_ cara memenuhi permintaan yang diluar kemampuan: _ud 'uunii astajiblakum,_ cara keluar dari persoalan: _wa man yattaqillaaha yaj'allahuu makhrooja,_ juga cara memilih pasangan yang harus diutamakan berdasarkan agamanya. Itu haditsnya gitu, pilihlah ia karena kecantikannya, hartanya, nasabnya, dan agamanya, tapi utamakanlah (pilihan) berdasarkan _dien_nya. Agama. (redaksinya mungkin kurang tepat, tapi intinya itu).

Terimakasih telah mau membaca, :) Terakhir, jika kamu termasuk orang yang selalu bertindak serba instan, dan hampir selalu dalam ketidak pastian seperti saya, mari kita sama-sama perbaiki. Sebab perncanaan memang separuh dari keberhasilan, dan itu juga Akhlaq nya Allah, dalam surat Al-Hasyr: _"Yaa Ayyuhalladziina aamanuttaqullaaha waltandzur nafsun maa qoddamat lii ghad, wattaqullaah innallaaha khobiirun bimaa ta'maluun..."_

Wallaahu 'alam. 😂

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEBAGAI INSTRUKTUR KAMMI (1)

SEBAGAI INSTRUKTUR KAMMI (2)