Perempuan: Menyikapi Kehendak
Demi cita-cita, kamu harus terjatuh-jatuh dan mungkin akan banyak merasa perih. Karena bisa jadi, yang diinginkan itu terlalu mahal, sehingga harus dibayar dengan harga yang sesuai. --xxxx----
***
Aku berencana mengirim pesan kepada Bapak, dengan pengakuan paling jujur. Dengan pernyataan prinsipil bahwa nasib adalah hasil dari pendidikan dan cita-cita, yang diijabah dalam bentuk Qadarullaah.
Ikhtiar tidak boleh rentas, harus ditempuh sampai tuntas, dengan cara yang patut. Begitu pesan bapak, 5 tahun lalu. Memang aku tidak pernah mengerti, bagaimana seorang perempuan memperjuangkan pilihan-nya. Walau belakangan telah ku tulis dalam sebuah artikel, tentang memantaskan diri dengan taqwa dan secara sungguh-sungguh beriman kepada yang tersembunyi, yang tidak kasat mata (ghaib), sesuai tuntunan Gusti Allah dalam Qur'an surat Al-Baqoroh ayat 2.
Perempuan dianggap aib, jika bersikap seperti laki-laki terhadap pilihannya. Padahal sejarah telah mencatat nama Khadijah sebagai perempuan terhormat yang mengutarakan tambatan hatinya kepada dunia, hingga menjadi suami yang berbalik menngasihi, memberi cinta tanpa terdua. Namun percontohan Sayyidah Khadijah, tidak mampu ditiru seluruh. Siapapun tiada sanggup menjadi tanding, sekalipun istri-istri Nabi setelahnya. Perempuan hari ini, tidak dapat meniru kecuali sebagiannya saja dari keutamaan sifat Ibunda (Khadijah). Sebagai konsekuensi ber-qudwah hasanah.
Atas pilihan hatinya, perempuan terdidik berkeyakinan, bahwa laki-laki yang dijadikan suami adalah lembaga pendidikan seumur hidup, yang membina sepanjang usia, menjadi murobbi dan mudarrib dalam tarbiyah ilahiyah, menjadi partner layaknya konselor atau mitra dalam menjaga keseimbangan yang telah diletakan Tuhan, ( Wa wadlo'al miizaan).
Tidaklah berlebihan, sebab perempuan terdidik juga menyadari tugas-tugasnya untuk mengabdi dan berkhidmat pada laki-laki yang dijadikannya suami.
Lembaga pendidikan bernama suami itu, baginya, sebab juga akan memberi didikan pada anak-anaknya untuk berjalan menuju Tuhan, Allah Azza Wa Jalla. Untuk menyusuri jalan panjang menemukan alamat Tuhan. Ia juga yang akan bertanggung jawab atas keluarga yang dinaunginya, atas perannya sebagai qowwam.
Belum ditemukan keterangan yang qoth'i, tentang bagaimana Islam memandang perempuan yang memperjuangkan nasib masa depannya. Ataupun jika belajar pada perempuan-perempuan terdidik masa lalu, mereka mencukupkan dirinya untuk terus berbuat bagi kaum dan rakyatnya. Sedang atas nasib perkawinan, mereka hanya diceritakan menerima ketentuan yang telah dipilihkan sang ayah.
Atau dalam sejarah Islam yang pernah ku dengar selain tentang Khadijah. Rosul pernah menerima seorang perempuan yang menawarkan dirinya, namun Rosul memberi penolakan secara halus dan memberikan kepada Sahabat yang lain. Ada juga tentang perempuan yang dilamar, dan menolak karena lebih menginginkan pemuda yang menjadi teman si pelamar.
Cerita-cerita itu memberi gambaran, tentang perkembangan perempuan dalam menjalani takdirnya. Namun, tidak kah perkembangan itu bersifat menyusut dalam hal kemapanan sikap perempuan ?
Hanya dari masa Islam di Arab (sekitar abad 7) sampai masa Kartini (sekitar abad 18) di tanah Jawa. Lebih gelap lagi, dimasa kolonial yang berkembang tradisi pergundikan, menghinakan kaum perempuan sebagai budak seks yang bisa diperjual beli (sekitar abad 16) di tanah Jawa.
Sedang tentang perempuan modern, pernah juga ditulis oleh sastrawan St. Takdir Alisjahbanna dalam roman yang berjudul, Layar Terkembang. Digambarkan melalui tokoh bernama Tuti, "Seorang tegap dan kukuh pendirian, tak suka beri-memberi, gelisah bekerja dan berjuang untuk cita-cita yang menurut pikirannya mulia dan luhur." (2010: viii)
Cetakan pertama roman ini, tahun 1937 dimana Indonesia telah melewati masa tanam paksa, pergundikan, dan feodalisme sakitan. Meski masih terjajah, namun setiap bangsa tengah mendekap asa yang sama; Merdeka.
de Genestet menuliskan sajak berjudul Terublik atau Buah Renungan:
"Apa yang kami hendaki, ingini, citakan,
Adalah perintah jiwa luhur,
Manusia merdeka, jalanmu, hidupmu,
Bukannya kau sendiri membuatnya.
Terbang garuda punya batasnya,
Mana pun jarak ditempuh.
Yang Maha Kuasa tundukkan kemauan orang-orang kuat,
Laksana angin terhadap lalang.
Sediakan tanah bagi---astana-astana hawa,
Di atas rencana bagan,
Tandai jalan yang kau bakal tempuh
Luas dan indah dunia! Pilihlah nasib dan cara jalan-jalanmu
Dengan terangmu sendiri!…
Tapi tunggulah seorang Tuhan dengan karunia-Nya,
Yang menentukan langkahmu!"
(Pram, PAKS: 163)
***
Setiap syair telah memberi begitu banyak hiburan pada hari-hari yang berat dan sulit. Seorang perempuan terdidik membaca itu, memberikan penawar atas dirinya, saat maksud belum bersesuaian dengan yang dimaksud. Baik syair dalam kitab suci ataupun cipta para penyair yang berkhidmat untuk kemanusiaan.
Bersambung……
***
Aku berencana mengirim pesan kepada Bapak, dengan pengakuan paling jujur. Dengan pernyataan prinsipil bahwa nasib adalah hasil dari pendidikan dan cita-cita, yang diijabah dalam bentuk Qadarullaah.
Ikhtiar tidak boleh rentas, harus ditempuh sampai tuntas, dengan cara yang patut. Begitu pesan bapak, 5 tahun lalu. Memang aku tidak pernah mengerti, bagaimana seorang perempuan memperjuangkan pilihan-nya. Walau belakangan telah ku tulis dalam sebuah artikel, tentang memantaskan diri dengan taqwa dan secara sungguh-sungguh beriman kepada yang tersembunyi, yang tidak kasat mata (ghaib), sesuai tuntunan Gusti Allah dalam Qur'an surat Al-Baqoroh ayat 2.
Perempuan dianggap aib, jika bersikap seperti laki-laki terhadap pilihannya. Padahal sejarah telah mencatat nama Khadijah sebagai perempuan terhormat yang mengutarakan tambatan hatinya kepada dunia, hingga menjadi suami yang berbalik menngasihi, memberi cinta tanpa terdua. Namun percontohan Sayyidah Khadijah, tidak mampu ditiru seluruh. Siapapun tiada sanggup menjadi tanding, sekalipun istri-istri Nabi setelahnya. Perempuan hari ini, tidak dapat meniru kecuali sebagiannya saja dari keutamaan sifat Ibunda (Khadijah). Sebagai konsekuensi ber-qudwah hasanah.
Atas pilihan hatinya, perempuan terdidik berkeyakinan, bahwa laki-laki yang dijadikan suami adalah lembaga pendidikan seumur hidup, yang membina sepanjang usia, menjadi murobbi dan mudarrib dalam tarbiyah ilahiyah, menjadi partner layaknya konselor atau mitra dalam menjaga keseimbangan yang telah diletakan Tuhan, ( Wa wadlo'al miizaan).
Tidaklah berlebihan, sebab perempuan terdidik juga menyadari tugas-tugasnya untuk mengabdi dan berkhidmat pada laki-laki yang dijadikannya suami.
Lembaga pendidikan bernama suami itu, baginya, sebab juga akan memberi didikan pada anak-anaknya untuk berjalan menuju Tuhan, Allah Azza Wa Jalla. Untuk menyusuri jalan panjang menemukan alamat Tuhan. Ia juga yang akan bertanggung jawab atas keluarga yang dinaunginya, atas perannya sebagai qowwam.
Belum ditemukan keterangan yang qoth'i, tentang bagaimana Islam memandang perempuan yang memperjuangkan nasib masa depannya. Ataupun jika belajar pada perempuan-perempuan terdidik masa lalu, mereka mencukupkan dirinya untuk terus berbuat bagi kaum dan rakyatnya. Sedang atas nasib perkawinan, mereka hanya diceritakan menerima ketentuan yang telah dipilihkan sang ayah.
Atau dalam sejarah Islam yang pernah ku dengar selain tentang Khadijah. Rosul pernah menerima seorang perempuan yang menawarkan dirinya, namun Rosul memberi penolakan secara halus dan memberikan kepada Sahabat yang lain. Ada juga tentang perempuan yang dilamar, dan menolak karena lebih menginginkan pemuda yang menjadi teman si pelamar.
Cerita-cerita itu memberi gambaran, tentang perkembangan perempuan dalam menjalani takdirnya. Namun, tidak kah perkembangan itu bersifat menyusut dalam hal kemapanan sikap perempuan ?
Hanya dari masa Islam di Arab (sekitar abad 7) sampai masa Kartini (sekitar abad 18) di tanah Jawa. Lebih gelap lagi, dimasa kolonial yang berkembang tradisi pergundikan, menghinakan kaum perempuan sebagai budak seks yang bisa diperjual beli (sekitar abad 16) di tanah Jawa.
Sedang tentang perempuan modern, pernah juga ditulis oleh sastrawan St. Takdir Alisjahbanna dalam roman yang berjudul, Layar Terkembang. Digambarkan melalui tokoh bernama Tuti, "Seorang tegap dan kukuh pendirian, tak suka beri-memberi, gelisah bekerja dan berjuang untuk cita-cita yang menurut pikirannya mulia dan luhur." (2010: viii)
Cetakan pertama roman ini, tahun 1937 dimana Indonesia telah melewati masa tanam paksa, pergundikan, dan feodalisme sakitan. Meski masih terjajah, namun setiap bangsa tengah mendekap asa yang sama; Merdeka.
de Genestet menuliskan sajak berjudul Terublik atau Buah Renungan:
"Apa yang kami hendaki, ingini, citakan,
Adalah perintah jiwa luhur,
Manusia merdeka, jalanmu, hidupmu,
Bukannya kau sendiri membuatnya.
Terbang garuda punya batasnya,
Mana pun jarak ditempuh.
Yang Maha Kuasa tundukkan kemauan orang-orang kuat,
Laksana angin terhadap lalang.
Sediakan tanah bagi---astana-astana hawa,
Di atas rencana bagan,
Tandai jalan yang kau bakal tempuh
Luas dan indah dunia! Pilihlah nasib dan cara jalan-jalanmu
Dengan terangmu sendiri!…
Tapi tunggulah seorang Tuhan dengan karunia-Nya,
Yang menentukan langkahmu!"
(Pram, PAKS: 163)
***
Setiap syair telah memberi begitu banyak hiburan pada hari-hari yang berat dan sulit. Seorang perempuan terdidik membaca itu, memberikan penawar atas dirinya, saat maksud belum bersesuaian dengan yang dimaksud. Baik syair dalam kitab suci ataupun cipta para penyair yang berkhidmat untuk kemanusiaan.
Bersambung……
Komentar
Posting Komentar