Zakat dan Pembebasan (2)



Pada dasarnya setiap manusia akan bergerak sesuai arah tuntutan kebutuhan hidupnya. Sesuatu yang telah ditetapkan sebagai orientasi hidup itulah yang membentuk arah tersebut. Manusia sebagai sebuah society mutlak membutuhkan wawasan fiqh muamalah, sehingga setiap interaksi dapat memeberikan nilai utilitas pada masa hidup dan masa mendatangnya yang kekal.
Dalam telusur pemenuhan kebutuhan suatu masyarakat, aktivitas ekonomi adalah hal vital, ia menunjukan bahwa masyarakat kita telah sangat terjebak dengan hutang – piutang. Survey sederhana yang pernah dilakukan dalam sekup kecil satuan RT (Rukun Tetangga) saja tercatat bahwa 85% warga terlilit hutang atau memiliki beban hutang yang tidak sedikit.[1] Beberapa diantaranya ialah sangkutan kepada pihak Bank yang rata-rata fungsi dari peminjaman uangnya adalah digunakan untuk modal usaha. Salah seorang warga mengatakan bahwa keputusan ini, diakui bukan tanpa pertimbangan dan musyawarah dengan anggota keluarga inti (suami atau istri), akan tetapi hasil akhirnya selalu buntu alias tidak menemukan jalan lain untuk menyambung hidup, makan dan melanjutkan usaha, jika tidak segera mendapatkan uang secara cepat.
Solusi instan inilah yang kemudian melahirkan perasaan dilematis bagi sebagian orang beriman. Kehadiran jasa Bank, untuk meminjamkan sejumlah uang baik dalam jumlah kecil ataupun besar, nampaknya selalu menjadi solusi sementara pembawa angin segar bagi masyarakat ekonomi lemah. Pertanyaannya, apakah benar pinjaman Bank yang jelas-jelas menggunakan unsur riba ini dapat menjadi solusi kemanusiaan ?[2] ; Apakah penumbuh – suburan riba ini dapat menjadi halal dalam kondisi penyelamatan kelangsungan hidup manusia ? Jika demikian, adakah ayat atau keterangan syari’at yang menghapus pengharaman riba ?
Dalam ayat-Nya, sangat jelas Ia berfirman : Wa ahallaahul bay’a wa harraman arribaa, Dan Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Konteks ayat ini menerangkan praktik jual beli yang diunggulkan secara Rabbani – sebab  penekanan langsung dari Allah – juga dilebihkan secara muamalah. Kelebihan dalam hal muamalah ini sederhananya diwujudkan dengan perlakuan adil.

Bagaimana ini dituntaskan ? faktanya setiap mahluk hidup membutuhkan makan untuk kelangsungan hidupnya.  Manusia yang telah meng-azzam-kan dalam dirinya untuk masuk kedalam system islam secara syummul, haruslah dibantu dan ditolong dalam merealisasikannya. Mereka tidak boleh lagi terjerat dengan syubhat duniawi yang  menghambatnya untuk sampai kepada Allah dengan selamat. Setiap syahadat adalah pembebas, yang memerdekakan pemeluknya dari ketundukan kepada sesama  mahluk menuju ketundukan yang total kepada Allah SWT saja.  
Setiap manusia dalam teori manapun, memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi secara seimbang, bertahap dan proporsional. Pemahaman tentang keadaan ini haruslah dimiliki oleh setiap siapapun yang hidup dan berakal, sehingga dinamakanlah fardlu ‘ain, kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu. Apa itu ? pemahaman tentang kebutuhan dasar. Ada teori Abraham Maslow dalam hirarki kebutuhan ini dimana setiap manusia perlu memiliki rasa aman, cinta, pengakuan, dan aktualisasi diri sebagai pucuknya. Kebutuhan dasar yang paling mendasar dan dibenarkan oleh seluruh teori ialah kebutuhan untuk berlangsung hidup dengan sarana pangan, sandang, papan (makanan, pakaian, dan tempat tinggal). Dalam Al-Qur’an, tercukupinya makanan untuk menghilangkan rasa lapar, dan dihilangkannya rasa takut untuk memperoleh rasa aman, merupakan suatu kondisi yang menjadi alasan kepantasan manusia untuk selalu menyembah Allah SWT,[3] guna meneguhkan eksistensi kehambaan kepada Sang Penguasa  Pemilik Jagat.[4]
Seseorang atau sekelompok keluarga yang terbebani dengan hutangnya, dalam islam akan dibebaskan melalui sistem zakat. Sebagai mustahiq[5] dalam kategori ghorim yang ber-hak dibantu oleh saudara muslim lainnya baik melalui zakat fitrah, ataupun zakat lainnya ketika mencapai nishab. Pembakuannya sangat jelas disampaikan Allah SWT dalam Al-Qur’an mengenai delapan asnap mustahiq zakat (kategori atau golongan orang yang berhak menerima zakat.[6]
Betapa Allah SWT Sang Pencipta manusia dan kehidupannya, telah mengetahui seraya memberi aturan jauh lebih dulu guna mengatasi masalah yang akan ditemukan kemudian. Bahwa persoalan kemiskinan, kekurangan harta dan kelemahan manusia untuk bertahan hidup oleh dirinya sendiri, Ia bantah dengan Kebijaksanaan-Nya melalui kewajiban berzakat, satu dimensi dalam penegakan agama Islam (rukun), dimana tidak akan tegak Islam manakala salah satu rukunnya tidak dapat terpenuhi. Demikian pun hikmah lain yang kita telisik, tentang mengapa kewajiban berzakat seringkali disandingkan dengan kewajiban sholat ? sebuah Ibadah mahdoh yang pelaksanaan hariannya sangat sering dan memiliki beberapa keutamaan peran.[7]
Dalam praktek ajaran sosialisme, semua hak manusia adalah mendapatkan kesama rataan dalam menerima apa yang seharusnya ia terima. Jika kita mengartikan paham ini sebagai paham yang hanya mengatur tentang urusan harta benda (economisch stelsel), tidaklah bermaksud bahwa ajarannya tidak mempelajarai ajaran-ajaran agama atau falsafah (wijsgeering) atau diluar ajaran Islam, justru setiap macam-macam sosialisme adalah berdasar pada asas-asas falsafah atau asas-asas agama. Demikianpun dalam ajaran Islam, sosialisme adalah paham yang senafas dengan ajaran Al-muslimun akhul muslim ba’dukum ba’dloo, bahwa seorang muslim dengan saudara muslim lainnya, bagaikan satu bangunan yang kokoh. Perlu ditegaskan bahwa sosialisme yang dituju dalam Islam itu dimaksudkan untuk mencari keselamatan dunia dan keselamatan akhirat.[8]
Visi dari praktek sosialisme dalam Islam ini tidak bisa tidak, salah satunya diwujudkan melalui zakat. Dapat dipahami bahwa seseorang yang tidak menunaikan (mengeluarkan) zakatnya bukan saja ia telah durhaka atas ke-ingkar-annya kepada Allah SWT, melainkan juga telah merampas hak-hak kemanusiaan sesamanya. Terwujudlah perilaku individualis, dimana seseorang tidak lagi memiliki kepedulian social atau kesadaran tentang apa yang bisa dilakukan untuk mewujudkan keseimbangan hidup manusia, atau dengan kata lain hanya mementingkan dirinya saja.



[1] Survey ini dilakukan di RT 07 Dusun Pare Nunggal Desa Bugel Kecamatan Ciawi Kabupaten Tasikmalaya, dengan bantuan pihak ketiga, yaitu Customer Service lapangan Bank Rakyat Indonesia
[2] Kemanusiaan yang penulis maksud disini ialah normalisasi peran dan fungsi, hak dan kewajiban manusia, yang menyangkut harga diri, dan kedudukannya sebgaia mahluk yang merdeka di hadapan Allah SWT
[3] Lihat Q.S Quraisy, 106 : 3-4
[4]Alasan menghamba ini penting untuk dinyatakan, sebab kesadaran sebagai haamba inilh yang akhirnya memberikan kesan psikologis pada manusia tentang kebergantungan dirinya atau ke-fakiran dirinya terhadap Allah SWT, sehingga dalam dimensi kepasrahan dan muroqobatullah akan sangat terpenuhi, dan sangat memungkinkan adanya hubungan kelekatan antara manusia dengan Allah SWT, hamba dengan Tuhan Yang Mencintainya. 
[5] Mustahiq zakat artinya orang yang berhak menerima zakat. Semuanya ada 8 golongan / 8 kategori yang telah ditetapkn langsung dalam Al-Qur’an.
[6] Dalam tulisan sebelumnya telah dibahas, Zakat sebagai sarana pembebas. Emas Rahayu, www.emasrahayu.blogspot.com 2016.
[7] Keutamaan peran yang dimaksud ialah bahwa shalat ini adalah Ibadah yang pertama kali akan dihisab oleh Allah SWT, ketika manusia memasuki alam kubur. Dalam hadist lain dikatakan juga bahwa Shalat memiliki fungsi tanhaa ‘anil fahsyaa-I wal munkar (mshalat akan mencegah dari perbuatan keji dan munkar). Atau bahakan dalam Al-Qur’an suratul Baqoroh pun dijelaskan, bahwa Shalat adalah sarana manusia dalam meminta pertolongan kepada Allah SWT, Wasta’iinu bissabri wassholah wa innahaa la kabiirotun illaa ‘alalkhaa syi’iin.
[8] Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme,(Bandung : Sega Arsy, 2008) hlm. 19

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEBAGAI INSTRUKTUR KAMMI (1)

Harusnya, Munadzomun Fii Syu'unihi

SEBAGAI INSTRUKTUR KAMMI (2)