Serial Konsep Bahagia (part.1)
Mencari Bahagia
Dalam
perbendaharaan kosakata, bahagia seringkali memiliki padanan yang beragam, jika
diminta memberi batasan saja bahagia akan sangat bergantung pada banyak hal. “Kalau kita perturutkan, bahagia itu
mempunyai kaidah sebanyak orang, sebanyak penderitaan, sebanyak pengalaman,
sebanyak kekecewaan.” ( HAMKA )
Orang
fakir mengatakan bahagia pada kekayaan; Orang sakit mengatakan bahagia itu pada
kesehatan; Orang yang telah terjerumus ke lembah dosa mengatakan bahwa terhenti
dari dosa itu kebahagiaan; Seorang yang rindu atau bercinta, mengatakan hasil
maksudnya itulah bahagia. Ada banyak keterwakilan makna, lain hal saat aku
menemukannya, kadang datang tanpa alasan yang jelas. Aku bahagia saat bertemu
dengannya ? kenapa bahagia ? Aku tidak tahu, aku hanya merasa mesin pencarian
ku terhenti saat kita tak berjarak banyak.
Hidup ini
adalah perjalanan panjang, bagi ia yang menadapat jatah umur lebih banyak,
namun tetap menjadi perjalanan bagi saiapapun yang pernah merasa hidup,
sesingkat apapun itu. Ada juga yang hanya singgah lalu ia kembali lagi, seperti
sang Bayi yang baru terlahir dan harus pulang lagi. Sesingkat apapun kehidupan,
sependek apapun perjalanan kita tetap mencari bahagia.
Ada do’a masyur yang kita tagih disetiap
penghujung kata, laksana permintaan sapu jagad yang ampuh dan menyeluruh;
kalimat singkat yang amat memikat tentang sebuah permintaan akan kebaikan dan
keberuntungan dalam hidup : “Rabbanaa
aatinaa fiddunya hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa ‘adzaa bannaar”. Sapaan
mesra sebelum meminta sesuatu hal yang besar dan esensial untuk dua jenis
kehidupan, yang fana maupun yang kekal.
Bahagia adalah
kekayaan jiwa setelah ia didapatkannya, bahagia akan selalu dicari jiwa sebelum
ia mendapatkannya. Bahagia adalah rasa yang tak terdefinisikan sebagaimana
cinta. Namun ia menjadi landasan dari berbagai ekspresi kebaikan. Imam
Al-Ghazali yang kerap dijuluki sebagai tabib jiwa perpendapat :
“Bahagia dan
kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah.” Lalu beliau
meneruskan , “Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita merasakan
nikmat kesenangan dan kelezatannya. Dan, kejadian itu ialah menurut tabiat
kejadian masing-masing, maka kelezatan ialah melihat rupa yang indah,
kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota
yang lain di tubuh manusia. Adapun kelezatan hati ialah teguh ma’rifat kepada
Allah, karena hati itu dijadiakn untuk mengingat Tuhan.”
Sejatinya kebahagiaan
yang diungkap Al-Ghazali adalah kebahagiaan tanpa batas, yang bilamana terpatri
akan menjadi investasi bagi hidup yang abadi. Bahagia dengan Ma’rifatullah, tidak satupun mahluk
kuasa untuk mengakhiri, bahkan mati menjadi sarana puncak pencapaian sebuah
bahagia.
Berbahagialah
!
Komentar
Posting Komentar