Pemikiran Ateistik
Pemikiran Ateistik di Dunia Pendidikan[1]
Oleh : Emas Rahayu[2]
Dalam mananamkan sebuah pemikiran,
pendidikan selalu menjadi ranah sentral untuk dijadikan sarana suksesinya.
Berbagai definisi pendidikan yang telah disepakati oleh berbagai kalangan
mengarah pada transformasi pengetahuan, pola pikir, sikap dan perilaku.
Sehingga jelaslah kenapa sejarah selalu mengungkapkan kehadiran sebuah gerakan
ataupun institusi pendidikan dengan background
ideologi tertentu. Hal ini dikarenakan pendidikan mampu mengakomodir
berbagai pengaruh yang terkandung dalam
setiap disiplin ilmu dan ditanamkan melalui proses pembelajaran.
Umat Islam saat ini dihadapkan
dengan tantangan besar berupa pengalihan nilai dan paham yang bersebrangan jauh
dengan ajaran Islam, salah satunya sekularisasi ilmu, dimana ilmu itu sendiri menjadi
aktor utama dalam dunia pendidikan. Kerangka
epistemologis yang berorientasi pada peradaban barat modern-sekuler telah
menjauhkan umat islam dari jalan hidupnya bahkan menggerus sendi-sendi akidah
umat Islam. Epistemologi Barat modern-sekuler mulai bergulir pada abad
ke-17 ketika seorang filsuf Barat,
Rene Descartes menggulirkan sebuah prinsip, cogito
ergo sum yang bermakna aku berfikir
maka aku ada. Dengan prinsip ini Descrates telah menjadikan rasio sebagai
satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran.[3] Padahal dalam ajaran Islam
ukuran kebenaran yang mutlak berada pada Wahyu. Bahkan pendayagunaan rasio pun
merupakan titah Wahyu, yakni perintah untuk bertafakur guna mengakui tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Penekanan
rasio dan panca indera sebagai sumber ilmu ( kebenaran ) juga diteruskan oleh
filsuf-filsuf setelahnya, diantaranya seperti Thomas Hobbes ( m. 1679 ),
Benedict Spinoza ( m. 1677 ) John Locke ( m. 1704 ), Immanuel Kant ( m. 1804 ),
Georg Friedrick Hegel ( m. 1831 ), dll.
Filsafat yang dianggap sangat
berpengaruh pada zaman modern adalah filsafat Immanuel Kant, dimana ia mampu
menjawab keraguan filsafat yang bergulir sebelumnya yang lebih bersifat
skeptik, yakni ynag dimunculkan oleh David Hume. Kant berpendapat bahwa
pengetahuan adalah mungkin sedang metafisika adalah tidak mungkin karena tidak
bersandar kepada panca indera[4]. Sebab menurutnya ( Kant )
dalam metafisiska tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik a-priori[5]
seperti yang ada didalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu lainnya yang
bersandar pada fakta empiris. Sementara itu Immanuel Kant memberikan nama pada
metafisika sebagai a trancendental illusion ( ilusi transendent ) yang tidak memiliki
nilai epistemologis. Terlihat jelas bahwa Kant tidak mengakui kitab suci
sebagai sumber dari ilmu pengetahuan.
Dalam keterangan
lain, Kant juga memberikan identifikasi terhadap masa pencerahan yang terjadi
pasca masa keemasan Kristen di Abad pertengahan. Periode inilah ( pencerahan )
yang lebih pantas dinamakan dengan masa nalar kritis[6]. Kant mengidentifikasikan
pencerahan dengan otonomi, karena dalam sudut pandangnya pencerahan merupakan
terbebasnya manusia dari segala otoritas yang akan merampas kebebasannya
berpikir tanpa arah dari yang lain.[7] Kant berdiri dengan
manifestonya, yakni “Berani untuk Tahu!
Berani untuk mengandalkan nalarmu sendiri!”. Inilah pernyataan perlawanan
yang mengusung kebebasan atas kepatuhan terhadap otoritas. Selanjutnya Filsafat
Kant ini juga turut mempengaruhi kemunculan Filsafat dialektika Hegel (m. 1831)
yang mempunyai andil besar dalam dalam perkembangan Epistemologi Barat
moder-sekuler.
Mengapa
pembahasan Epistemologi Barat modern-sekuler menjadi penting ? karena itulah
yang menjadi rahim dari kelahiran ateisme
yang juga menyebabkan teologi Kristen menjadi sekuler.[8] Dengan ini kita seperti
akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kenyataannya Epistemologi Barat
modern-sekuler ini bukan hanya mengancam eksistensi Islam sebagai agama yang
menjadi musuh besarnya, akan tetapi ia juga menjadi tombak yang akan
memporak-porandakan setiap agama. Sebagaimana kemunculan paham “agama adalah
candu bagi masyarakat”. Benih-benih ateistik telah nampak jelas sampai pada pengakuan
bahwa manusia tidak butuh Tuhan dan menganggap manusia lah sebagai sumber
kebenaran yang layak dijadikan orientasi dalam setiap perilaku dan sistem kehidupan.
Penggiringan pemikiran ateistik di
dunia pendidikan telah menemukan peluang besar di tingkat perguruan tinggi.
Spesialisasi ilmu yang terdapat disetiap universitas mengarahkan pada pemahaman
mahasiswa yang parsial bahkan dikotomis. Akibatnya, paham ateisme menjadi
fenomena umum dalam berbagai disiplin keilmuan, sebutlah contohnya seperti filsafat,
teologi Yahudi-Kristen, sains, Sosiologi, Psikologi, Biologi, Politik, Ekonomi,
dll. Sekali lagi ini terlahir dari sejarah pembangkangan yang membangun nalar
kritis terhadap sistem ajaran hidup yang dinamakan Epistemologi Barat modern-sekuler.
Tentang filsafat
dialektika Hegel yang juga melangsungkan Epistemologi Barat modern-sekuler, ia
beranggapan bahwa pengetahuan adalah angoing
proses, dimana pengetahuan terus akan berkembang, yang baru akan
menegasikan tahap yang sudah tercapai. Bukan berarti yang lama tiidak lagi
berlaku, namun dalam padangan pengetahuan yang lama itu menjadi nampak sangat
terbatas. Sehingga tahap lama itu tidak benar sebab ia terbatas dan dengan
demikian jangan dianggap sebagai kebenaran. Tetapi, yang benar dalam penyangkalan
tetap dipertahankan. Demikianlah buku itu mengungkapkan yang seiring juga
dengan pemikirannya Karl Marx.
Pelopor paham
ateisme di abad modern merupakan seorang teolog yang tidak lain adalah muridnya
Hegel, bernama Ludwig Feurbach ( 1804 – 1872 ). Ia menegaskan bahwa prinsip
filsafat yang paling tinggi adalah manusia. dalam karyanya yang berjudul The Essence of Christianity, 1989 ia
juga menuliskan, “Sekalipun teologi dan agama menyangkal, namun pada hakikatnya
agamalah yang menyembah manusia ( religion
that worship man ). Agama Kristen sendiri yang menyatakan Tuhan adalah manusai dan Manusia
adalah Tuhan. Jadi, agama akan menafikan Tuhan yang bukan manusia. Makna
sebenarnya dari teologi adalah antropologi ( the true sense of Theology is Antropolgy ). Agama adalah mimpi akal
manusia”. Pemikiran ini juga mempengaruhi Karl Marx sehingga berpendapat bahwa
agama adalah keluhan mahluk yang tertekan,
perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang
tanpa roh. Agama adalah candu rakyat. Dalam pandangan Marx agama hanyalah faktor sekunder sedangkan
faktor primenya adalah ekonomi.[9]
Dalam bidang sains tokoh yang
dijadikan kiblat itu diantaranya Charles Robert Darwin, yang mengungkapkan
tetang teori evolusi. Teori ini bahkan telah dikenalkan dalam mata pelajaran
biologi di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ( SLTP ) kelas 7. Pada intinya ia
menyimpulkan bahwa Tuhan tidak berperan dalam penciptaan manusia. dalam
pandangan Darwin, asal mula spesis ( the
origin of species ) bukan berasal dari Tuhan melainkan hasil dari adaptasi
dengan lingkungannya. Ia beranggapan bahwa Tuhan tidak menciptakan mahluk
hidup. Semua spesis yang berbeda sesungguhnya berasal dari satu nenek moyang
yang sama. Adapun perbedaan antara satu dengan yang lainnya disebabkan oleh
faktor-faktor kondisi alam. Karya Darwin ini juga mendapat pujian dari Karl
Marx.[10]
Berkembang dalam disiplin ilmu
sosiologi, paham ateisme ini diusung oleh Auguste Comte, ia memandang bahwa
kepercayaan manusia terhadap agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat.
Pendapatnya kemudian diikuti oleh ara sosiolog lain seperti Emile Durkheim dan
Herbert Spencer. Agama, ditegskan Spencer berawal dari halusinasi dan mimpi
manusia tentang adanya spirit di dunia lain. Pemikiran-pemikiran mereka kini telah
menjadi bahan kajian di berbagai perguruan tinggi yang “bermadzhab” sekuler. Ia
telah terbukti mengalihkan perhatian para pelajar ( mahasiswa ) muslim untuk
mengkaji ilmu sosiologi yang benar.
Tidak juga luput dalam dalam
disiplin ilmu psikologi, pemikiran ateistik turut menjadi warna dalam kajian
keilmuan tentang jiwa manusia ini. Tokohnya yang terkemuka adalah Sigmund Freud
(m. 1939) yang menganggap doktrin-doktrin agama sebagai sebuah ilusi. Agama ia
nilai sangat tidak sesuai dengan realitas dunia. Freud menekankan hanya karya
ilmiah lah satu-satunya jalan untuk membimbing manusia ke arah ilmu
pengetahuan, bukan Agama.
Selanjutnya dalam
disiplin ilmu filsafat pun turut bergema kritik-kritik yang menggugat tentang
keberadaan Tuhan. Tokoh sentralnya ialah Friedrich Nietzsche (1844-1900) ia
menulis “God died; now we want to the
overman to live.” Dalam pananag Nietzsche agama adalah “membuat lebih baik
sesaat dan membiuskan”, ia juga beranggapan bahwa agama tidak adapat
disesuaikan dengan ilmu pengetahuan sehingga tidak ada keterkaitannya sama
sekali. Ia menyatakan, “seseorang
tidak dapat mempercayai dogma-dogma agama dan metafisiska ini jika seseorang
memiliki metode-metde yang ketat untuk meraih kebenaran di dalam hati dan
kepada seseorang.”[11] Pemikirannya ini kemudian
dijadikan rujukan oleh para filsuf post modern, pada pertengahan abad ke-20
yang mentransformasi pemikiran Nietzsche yang berbunyi God is death menjadi the
author is death, oleh Jacques Derrida, juga filsuf lainnya ( yang merujuk
pemikiran Nietzsche ) seperti Richard Rorty, Michael Foucault, dll. Worlview dan filsafat Ilmu sekuler ini
secara jelas menolak keberadaan dan kehadiran Tuhan dalam seluruhaspek
kehidupan. Tuhan selalu dipandang sebagai pengganggu kebebasan manusia. Pernyataan lain dari
Jean-Paul, seorang filsuf terkenal “ sekalipun Tuhan itu ada itu pun ahrus
ditolak, sebab ide tentang Tuhan mengganggu kebebasan mereka.”[12]
Di dunia
pendidikan semangat untuk menolak Tuhan itu memang sangat dominan. Dalam bidang
politik pun Nicolo Machiavelli tampil dengan sumbangan terbesarnya, yaitu
menghilangkan faktor agama dalam politik, dengan memandang masalah politik dan
negara semata-mata sebagai faktor saintifik yang rasional. Inilah yang dianggap
ilmu politik modern. Politik semacam ini melampaui nilai-nilai moral keagamaan
tanpa memperhatikan nilai “baik atau buruk”, Machiavelli telah membuat ajaran
bahwa seorang penguasa yang sukses selalu bertentangan dengan pertimbangan moral
dan keagamaan. Ia menulis dala The
Prince, “Jika situasi menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan
negara lain, dan melakukan kekejaman dan teror.” Inti dari pemikirannya adalah
pengangkatan persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan.
[1] Tema ini merupakan inspirasi yang muncul setelah membaca kumpulan artikel dalam bundel
berjudul Filsafat Ilmu yang ditulis oleh DR. Adian Husaini dan beberapa
peneliti lain di Pasca sarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor.
[2] Peserta Sekolah Pemikiran Islam #IndonesiaTanpaJIL ankatan pertama,
pegiat forum diskusi kajian Pendidikan, LIDER-PRO
Oleh : Emas Rahayu[2]
Dalam mananamkan sebuah pemikiran,
pendidikan selalu menjadi ranah sentral untuk dijadikan sarana suksesinya.
Berbagai definisi pendidikan yang telah disepakati oleh berbagai kalangan
mengarah pada transformasi pengetahuan, pola pikir, sikap dan perilaku.
Sehingga jelaslah kenapa sejarah selalu mengungkapkan kehadiran sebuah gerakan
ataupun institusi pendidikan dengan background
ideologi tertentu. Hal ini dikarenakan pendidikan mampu mengakomodir
berbagai pengaruh yang terkandung dalam
setiap disiplin ilmu dan ditanamkan melalui proses pembelajaran.
Umat Islam saat ini dihadapkan
dengan tantangan besar berupa pengalihan nilai dan paham yang bersebrangan jauh
dengan ajaran Islam, salah satunya sekularisasi ilmu, dimana ilmu itu sendiri menjadi
aktor utama dalam dunia pendidikan. Kerangka
epistemologis yang berorientasi pada peradaban barat modern-sekuler telah
menjauhkan umat islam dari jalan hidupnya bahkan menggerus sendi-sendi akidah
umat Islam. Epistemologi Barat modern-sekuler mulai bergulir pada abad
ke-17 ketika seorang filsuf Barat,
Rene Descartes menggulirkan sebuah prinsip, cogito
ergo sum yang bermakna aku berfikir
maka aku ada. Dengan prinsip ini Descrates telah menjadikan rasio sebagai
satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran.[3] Padahal dalam ajaran Islam
ukuran kebenaran yang mutlak berada pada Wahyu. Bahkan pendayagunaan rasio pun
merupakan titah Wahyu, yakni perintah untuk bertafakur guna mengakui tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Penekanan
rasio dan panca indera sebagai sumber ilmu ( kebenaran ) juga diteruskan oleh
filsuf-filsuf setelahnya, diantaranya seperti Thomas Hobbes ( m. 1679 ),
Benedict Spinoza ( m. 1677 ) John Locke ( m. 1704 ), Immanuel Kant ( m. 1804 ),
Georg Friedrick Hegel ( m. 1831 ), dll.
Filsafat yang dianggap sangat
berpengaruh pada zaman modern adalah filsafat Immanuel Kant, dimana ia mampu
menjawab keraguan filsafat yang bergulir sebelumnya yang lebih bersifat
skeptik, yakni ynag dimunculkan oleh David Hume. Kant berpendapat bahwa
pengetahuan adalah mungkin sedang metafisika adalah tidak mungkin karena tidak
bersandar kepada panca indera[4]. Sebab menurutnya ( Kant )
dalam metafisiska tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik a-priori[5]
seperti yang ada didalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu lainnya yang
bersandar pada fakta empiris. Sementara itu Immanuel Kant memberikan nama pada
metafisika sebagai a trancendental illusion ( ilusi transendent ) yang tidak memiliki
nilai epistemologis. Terlihat jelas bahwa Kant tidak mengakui kitab suci
sebagai sumber dari ilmu pengetahuan.
Dalam keterangan
lain, Kant juga memberikan identifikasi terhadap masa pencerahan yang terjadi
pasca masa keemasan Kristen di Abad pertengahan. Periode inilah ( pencerahan )
yang lebih pantas dinamakan dengan masa nalar kritis[6]. Kant mengidentifikasikan
pencerahan dengan otonomi, karena dalam sudut pandangnya pencerahan merupakan
terbebasnya manusia dari segala otoritas yang akan merampas kebebasannya
berpikir tanpa arah dari yang lain.[7] Kant berdiri dengan
manifestonya, yakni “Berani untuk Tahu!
Berani untuk mengandalkan nalarmu sendiri!”. Inilah pernyataan perlawanan
yang mengusung kebebasan atas kepatuhan terhadap otoritas. Selanjutnya Filsafat
Kant ini juga turut mempengaruhi kemunculan Filsafat dialektika Hegel (m. 1831)
yang mempunyai andil besar dalam dalam perkembangan Epistemologi Barat
moder-sekuler.
Mengapa
pembahasan Epistemologi Barat modern-sekuler menjadi penting ? karena itulah
yang menjadi rahim dari kelahiran ateisme
yang juga menyebabkan teologi Kristen menjadi sekuler.[8] Dengan ini kita seperti
akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kenyataannya Epistemologi Barat
modern-sekuler ini bukan hanya mengancam eksistensi Islam sebagai agama yang
menjadi musuh besarnya, akan tetapi ia juga menjadi tombak yang akan
memporak-porandakan setiap agama. Sebagaimana kemunculan paham “agama adalah
candu bagi masyarakat”. Benih-benih ateistik telah nampak jelas sampai pada pengakuan
bahwa manusia tidak butuh Tuhan dan menganggap manusia lah sebagai sumber
kebenaran yang layak dijadikan orientasi dalam setiap perilaku dan sistem kehidupan.
Penggiringan pemikiran ateistik di
dunia pendidikan telah menemukan peluang besar di tingkat perguruan tinggi.
Spesialisasi ilmu yang terdapat disetiap universitas mengarahkan pada pemahaman
mahasiswa yang parsial bahkan dikotomis. Akibatnya, paham ateisme menjadi
fenomena umum dalam berbagai disiplin keilmuan, sebutlah contohnya seperti filsafat,
teologi Yahudi-Kristen, sains, Sosiologi, Psikologi, Biologi, Politik, Ekonomi,
dll. Sekali lagi ini terlahir dari sejarah pembangkangan yang membangun nalar
kritis terhadap sistem ajaran hidup yang dinamakan Epistemologi Barat modern-sekuler.
Tentang filsafat
dialektika Hegel yang juga melangsungkan Epistemologi Barat modern-sekuler, ia
beranggapan bahwa pengetahuan adalah angoing
proses, dimana pengetahuan terus akan berkembang, yang baru akan
menegasikan tahap yang sudah tercapai. Bukan berarti yang lama tiidak lagi
berlaku, namun dalam padangan pengetahuan yang lama itu menjadi nampak sangat
terbatas. Sehingga tahap lama itu tidak benar sebab ia terbatas dan dengan
demikian jangan dianggap sebagai kebenaran. Tetapi, yang benar dalam penyangkalan
tetap dipertahankan. Demikianlah buku itu mengungkapkan yang seiring juga
dengan pemikirannya Karl Marx.
Pelopor paham
ateisme di abad modern merupakan seorang teolog yang tidak lain adalah muridnya
Hegel, bernama Ludwig Feurbach ( 1804 – 1872 ). Ia menegaskan bahwa prinsip
filsafat yang paling tinggi adalah manusia. dalam karyanya yang berjudul The Essence of Christianity, 1989 ia
juga menuliskan, “Sekalipun teologi dan agama menyangkal, namun pada hakikatnya
agamalah yang menyembah manusia ( religion
that worship man ). Agama Kristen sendiri yang menyatakan Tuhan adalah manusai dan Manusia
adalah Tuhan. Jadi, agama akan menafikan Tuhan yang bukan manusia. Makna
sebenarnya dari teologi adalah antropologi ( the true sense of Theology is Antropolgy ). Agama adalah mimpi akal
manusia”. Pemikiran ini juga mempengaruhi Karl Marx sehingga berpendapat bahwa
agama adalah keluhan mahluk yang tertekan,
perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang
tanpa roh. Agama adalah candu rakyat. Dalam pandangan Marx agama hanyalah faktor sekunder sedangkan
faktor primenya adalah ekonomi.[9]
Dalam bidang sains tokoh yang
dijadikan kiblat itu diantaranya Charles Robert Darwin, yang mengungkapkan
tetang teori evolusi. Teori ini bahkan telah dikenalkan dalam mata pelajaran
biologi di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ( SLTP ) kelas 7. Pada intinya ia
menyimpulkan bahwa Tuhan tidak berperan dalam penciptaan manusia. dalam
pandangan Darwin, asal mula spesis ( the
origin of species ) bukan berasal dari Tuhan melainkan hasil dari adaptasi
dengan lingkungannya. Ia beranggapan bahwa Tuhan tidak menciptakan mahluk
hidup. Semua spesis yang berbeda sesungguhnya berasal dari satu nenek moyang
yang sama. Adapun perbedaan antara satu dengan yang lainnya disebabkan oleh
faktor-faktor kondisi alam. Karya Darwin ini juga mendapat pujian dari Karl
Marx.[10]
Berkembang dalam disiplin ilmu
sosiologi, paham ateisme ini diusung oleh Auguste Comte, ia memandang bahwa
kepercayaan manusia terhadap agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat.
Pendapatnya kemudian diikuti oleh ara sosiolog lain seperti Emile Durkheim dan
Herbert Spencer. Agama, ditegskan Spencer berawal dari halusinasi dan mimpi
manusia tentang adanya spirit di dunia lain. Pemikiran-pemikiran mereka kini telah
menjadi bahan kajian di berbagai perguruan tinggi yang “bermadzhab” sekuler. Ia
telah terbukti mengalihkan perhatian para pelajar ( mahasiswa ) muslim untuk
mengkaji ilmu sosiologi yang benar.
Tidak juga luput dalam dalam
disiplin ilmu psikologi, pemikiran ateistik turut menjadi warna dalam kajian
keilmuan tentang jiwa manusia ini. Tokohnya yang terkemuka adalah Sigmund Freud
(m. 1939) yang menganggap doktrin-doktrin agama sebagai sebuah ilusi. Agama ia
nilai sangat tidak sesuai dengan realitas dunia. Freud menekankan hanya karya
ilmiah lah satu-satunya jalan untuk membimbing manusia ke arah ilmu
pengetahuan, bukan Agama.
Selanjutnya dalam
disiplin ilmu filsafat pun turut bergema kritik-kritik yang menggugat tentang
keberadaan Tuhan. Tokoh sentralnya ialah Friedrich Nietzsche (1844-1900) ia
menulis “God died; now we want to the
overman to live.” Dalam pananag Nietzsche agama adalah “membuat lebih baik
sesaat dan membiuskan”, ia juga beranggapan bahwa agama tidak adapat
disesuaikan dengan ilmu pengetahuan sehingga tidak ada keterkaitannya sama
sekali. Ia menyatakan, “seseorang
tidak dapat mempercayai dogma-dogma agama dan metafisiska ini jika seseorang
memiliki metode-metde yang ketat untuk meraih kebenaran di dalam hati dan
kepada seseorang.”[11] Pemikirannya ini kemudian
dijadikan rujukan oleh para filsuf post modern, pada pertengahan abad ke-20
yang mentransformasi pemikiran Nietzsche yang berbunyi God is death menjadi the
author is death, oleh Jacques Derrida, juga filsuf lainnya ( yang merujuk
pemikiran Nietzsche ) seperti Richard Rorty, Michael Foucault, dll. Worlview dan filsafat Ilmu sekuler ini
secara jelas menolak keberadaan dan kehadiran Tuhan dalam seluruhaspek
kehidupan. Tuhan selalu dipandang sebagai pengganggu kebebasan manusia. Pernyataan lain dari
Jean-Paul, seorang filsuf terkenal “ sekalipun Tuhan itu ada itu pun ahrus
ditolak, sebab ide tentang Tuhan mengganggu kebebasan mereka.”[12]
Di dunia
pendidikan semangat untuk menolak Tuhan itu memang sangat dominan. Dalam bidang
politik pun Nicolo Machiavelli tampil dengan sumbangan terbesarnya, yaitu
menghilangkan faktor agama dalam politik, dengan memandang masalah politik dan
negara semata-mata sebagai faktor saintifik yang rasional. Inilah yang dianggap
ilmu politik modern. Politik semacam ini melampaui nilai-nilai moral keagamaan
tanpa memperhatikan nilai “baik atau buruk”, Machiavelli telah membuat ajaran
bahwa seorang penguasa yang sukses selalu bertentangan dengan pertimbangan moral
dan keagamaan. Ia menulis dala The
Prince, “Jika situasi menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan
negara lain, dan melakukan kekejaman dan teror.” Inti dari pemikirannya adalah
pengangkatan persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan.
[1] Tema ini merupakan inspirasi yang muncul setelah membaca kumpulan artikel dalam bundel
berjudul Filsafat Ilmu yang ditulis oleh DR. Adian Husaini dan beberapa
peneliti lain di Pasca sarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor.
[2] Peserta Sekolah Pemikiran Islam #IndonesiaTanpaJIL ankatan pertama,
pegiat forum diskusi kajian Pendidikan, LIDER-PRO
[3] Dikutip dari Adnin Armas dan Dewi Kania, Sekularisasi Ilmu, hlm. 5 dalam Filsafat
Ilmu; Perspektif Barat dan Islam, ( Jakarta : GIP, 2013 )
[4] Lihat bagian Sekularisasi dan
westernisasi Ilmu dalam Filsafat Ilmu
hlm. 8
[5] Idiom tersebut masih dicarikan artinya. Pemahaman sementara, bisa dimaknai dengan melihat pada keterangan
( kata atau kalimat ) setelahnya.
[6] Adnin Armas, Metodologi Ilmiah
dalam Islam. Dalam Filsafat Ilmu Bag.
9 hlm. 156
[7] Pemerian tentang pencerahan ( Enlightenment
) dinyatakan dengan fasih oleh Immanuel Kant dalam tulisannya, Apakah
Pencerahan itu ? ( Was ist Aufklarung ? )
: pencerahan adalah pelepasa manusia dari
kepasrahannya pada petunjuk. Petunjuk adalah ketidakmampuan manusia untuk
menggunakan pemahamnnya tanpa pengarahan dari pihak lain. Kepasrahan pada
petunjuka adalah petunjuk ketika segala penyebabnya terletak bukan pada
kurangnya nalar, tetapi pada kurangnya pengambilan keputusan dan keberanian
untuk menggunakannya tanpa pengarahan dari pihak lain ( New York: Book
Builders Incorporated, 1996), viii. Dikutip dari artikel ke-9 dalam buku Filsafat Ilmu, hlm. 156
[8] Tentang sekularisasi teologi kristen akan disinggung dalam tulisan
selanjutnya.
[9] Dikutip dari Franz Magnis-Suseno, Pemikiran
Karl Marx, dalam Filsafat Ilmu hlm.
9
[10] Lihat bag. 1 Filsafat Ilmu hlm.
9
[11] Nietzsche menyatakan, “one
cannot believe these dogmas of religion and metaphysics if one has in one’s
heart anda head the rigorous methods of acquiring truth.” Dikutip dari
Robert C. Holub, Friedrich Nietzsche, New
York: Twayne Publishers, 1995) hlm. 129
[12] Karen Amstrong, History of God, 1993.
Dalam Filsafat Ilmu, hlm. 4213 )
[4] Lihat bagian Sekularisasi dan
westernisasi Ilmu dalam Filsafat Ilmu
hlm. 8
[5] Idiom tersebut masih dicarikan artinya. Pemahaman sementara, bisa dimaknai dengan melihat pada keterangan
( kata atau kalimat ) setelahnya.
[6] Adnin Armas, Metodologi Ilmiah
dalam Islam. Dalam Filsafat Ilmu Bag.
9 hlm. 156
[7] Pemerian tentang pencerahan ( Enlightenment
) dinyatakan dengan fasih oleh Immanuel Kant dalam tulisannya, Apakah
Pencerahan itu ? ( Was ist Aufklarung ? )
: pencerahan adalah pelepasa manusia dari
kepasrahannya pada petunjuk. Petunjuk adalah ketidakmampuan manusia untuk
menggunakan pemahamnnya tanpa pengarahan dari pihak lain. Kepasrahan pada
petunjuka adalah petunjuk ketika segala penyebabnya terletak bukan pada
kurangnya nalar, tetapi pada kurangnya pengambilan keputusan dan keberanian
untuk menggunakannya tanpa pengarahan dari pihak lain ( New York: Book
Builders Incorporated, 1996), viii. Dikutip dari artikel ke-9 dalam buku Filsafat Ilmu, hlm. 156
[8] Tentang sekularisasi teologi kristen akan disinggung dalam tulisan
selanjutnya.
[9] Dikutip dari Franz Magnis-Suseno, Pemikiran
Karl Marx, dalam Filsafat Ilmu hlm.
9
[10] Lihat bag. 1 Filsafat Ilmu hlm.
9
[11] Nietzsche menyatakan, “one
cannot believe these dogmas of religion and metaphysics if one has in one’s
heart anda head the rigorous methods of acquiring truth.” Dikutip dari
Robert C. Holub, Friedrich Nietzsche, New
York: Twayne Publishers, 1995) hlm. 129
[12] Karen Amstrong, History of God, 1993.
Dalam Filsafat Ilmu, hlm. 42
Komentar
Posting Komentar