KUBAH; Sebuah Resensi Novel

Konon, sastra diterangkan sebagai subjek yang harus diajarkan, dan danjurkan oleh Sahabat, Umar bin Al Khattab, guna membentuk watak pemberani. Membaca sastra adalah penawar jiwa yang lelah dan penat. Untuk tetap bijak serta pandai merasa, tiadalah mampu aku berpisah dari susunan kalimatnya, lebih dari satu minggu. :v

Moli bercerita: "ku rasa, Novel ini adalah karya terbaik diantara buku Ahmad Tohari lainnya, bacalah! Daripada kau baca medsos." Wkwk
Sarannya langsung ku terima.
***

Pegaten adalah sebuah latar desa yang lugu dan jauh dari kesumat, masyarakat yang ramah, kekeluargaan, juga mudah melupakan kesalahan orang. Sebuah tempat yang tentram digambarkan, sempurna sebagai tempat kepulangan seorang tahanan politik yang baru saja bebas dari pengasingan. Karman.

Trah revolutioner dan ajaran pertentangan kelas, begitu saja merasuk pada sukma kehidupan Karman. Bermula dari hasutan Margo, seorang tokoh partai komunis yang gigih membangkitkan kebencian Karman terhadap Haji Bakir, saudagar kaya yang telah menjadi tempatnya bergantung hidup.

Karman ingkar. Bukan saja terhadap orang-orang yang berjasa atas hidupnya, namun juga terhadap Tuhan, Allah SWT yang telah menciptakan diri dan kehidupannya. Ia telah meninggalkan jalan hidup yang selama ini dianut, menjauhinya sebagai sebuah candu yang mengekalkan penindasan.

Sejarah rupanya beralih pandang. Kemapanan ideologi, tak selalu mengantarkan penganutnya pada kepuasaan apalagi bahagia. Sebuah ideologi mutlak untuk diperjuangkan, dan akan ada lawan yang menantang atau malah yang mengalahkan, menumpas habis. Itulah yang terjadi dalam gambaran Indonesia di era 60 an.

Bantaran Kali Sikura, Lubuk Waru, Astana Lopajang hingga berakhir di Pulau Buru tempat ia diasingkan, menjadi latar sempurna untuk terbitnya sebuah keinsyafan. Bagaimanapun, ia merasa telah menanggung dosa sejarah yang amat besar. Namun Kubah bagi Masjid Haji Bakir yang ia ukir, telah juga sempurna menjadi simbol pengakuan. Bahwa Karman telah kembali kepada masyarakatnya. Dalam ukirannya; ia lukiskan kesan jiwa   mendalam, empat ayat terakhir dari surat Al Fajr terbaca di sana: Wahai jiwa yang tentram, yang telah sampai kepada kebenaran hakiki. Kembalilah engkau kepada Tuhan. Maka masuklah engkau ke dalam barisan hamba-hamba--Ku. Dan masuklah ke dalam kedamaian abadi, di surga--Ku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEBAGAI INSTRUKTUR KAMMI (1)

Harusnya, Munadzomun Fii Syu'unihi

SEBAGAI INSTRUKTUR KAMMI (2)