JALAN MENUJU TOBA #part 1
Aku mendamba wewangian surga, semerbak pada mereka yang selalu rela. Menempatkan mashlahat untuk ummat manusia, di atas segala. Bagi mereka barokah jumu'ah ku hantar dalam lafadz do'a rahasia.
Seseorang telah memilih Gerilya, di penghujung zaman, menyemai pekerti, mengajarkan sadar, agar setiapnya berpikir sepenuh akal. Sebab fikir ialah isyarat dzikir, pengganda nilai ibadah menjadi beribu-ribu banyaknya.
Seseorang itu, mengakhirinya di Toba dengan penemuan satu istilah bernama harapan, berselimut gelap yang pernah dikhawatirkan Yunus a.s, walau tak sampai tertelan, ia dan sekawanan telah memandang kesepakatan bernama harapan.
Toba di utara sumatera itu, berlegendakan anak durhaka. Sementara ia, tiada pasti mengaji diri, apakah juga itu sebuah durhaka? saat permintaan mula "sang bapak," tiada lekas diindahkannya. Ditimbang titi dengan gelora, optimis dengan pertarungan yang nyaris futuhat, menang atau menang.
Masa tak berbalas setia. Pengikut, pun tak kuasa, simpati nan tak bertepi tiada juga dapat memberi pasti. Segala kehendak ada pada tangan yang di atas. Yang dermawan akan janji-janji manis di hadapan.
Teranglah, bahwa tangan di atas itu, kuasa, namun haram diimani. Sebatas berlaku hormat; berkasih sayang untuk memberi harga. Agar Allah-ku Sang Pemberi Misteri, menyantuni dan membayar kontan segala sesal (jika tak ku sebut kecewa).
Berucap soekarno, dalam kalimat yang lekat, mengumpamakan rotan yang tiada patah namun meliuk indah. Melengkung, menuruti kehendak tangan di atas. "seperti rotan, aku hanya melengkung, tidak patah."
Sedang natsir, pun tiada henti melukis kenangnya pada Ehrenfest. Prof. Paul Ehrenfest, Guru Besar yang kehilangan ideal. "Demikian wetenschap! Ruhaninya dahaga kepada suatu tempat berpegang yang teguh, satu barang yang absolut dan mutlak. Tempat menyangkutkan sauh bila ditimpa gelombang kehidupan, tempat bernaung yang teduh, bila datang pancaroba ruhani. Semua ini tak mungkin diperdapatnya dengan semata-mata berpuluhan dalil, ratusan aksioma dan hipotese yang diperolehnya dengan wetenschap itu." (Natsir: 1940)
Kembali pada jalan menuju Toba. Testimony Natsir juga semboyan Karno, tiada untuk diemban serta. Sebab andai pun seperti rotan melengkung, tiadalah akal merdeka dapat berkelana. Demikian hal nya dengan wetenschap, mustahil menjadi perlabuhan, sebab akan ada hayat ruhani yang tak bisa dipuaskan.
Bersambung…
Seseorang telah memilih Gerilya, di penghujung zaman, menyemai pekerti, mengajarkan sadar, agar setiapnya berpikir sepenuh akal. Sebab fikir ialah isyarat dzikir, pengganda nilai ibadah menjadi beribu-ribu banyaknya.
Seseorang itu, mengakhirinya di Toba dengan penemuan satu istilah bernama harapan, berselimut gelap yang pernah dikhawatirkan Yunus a.s, walau tak sampai tertelan, ia dan sekawanan telah memandang kesepakatan bernama harapan.
Toba di utara sumatera itu, berlegendakan anak durhaka. Sementara ia, tiada pasti mengaji diri, apakah juga itu sebuah durhaka? saat permintaan mula "sang bapak," tiada lekas diindahkannya. Ditimbang titi dengan gelora, optimis dengan pertarungan yang nyaris futuhat, menang atau menang.
Masa tak berbalas setia. Pengikut, pun tak kuasa, simpati nan tak bertepi tiada juga dapat memberi pasti. Segala kehendak ada pada tangan yang di atas. Yang dermawan akan janji-janji manis di hadapan.
Teranglah, bahwa tangan di atas itu, kuasa, namun haram diimani. Sebatas berlaku hormat; berkasih sayang untuk memberi harga. Agar Allah-ku Sang Pemberi Misteri, menyantuni dan membayar kontan segala sesal (jika tak ku sebut kecewa).
Berucap soekarno, dalam kalimat yang lekat, mengumpamakan rotan yang tiada patah namun meliuk indah. Melengkung, menuruti kehendak tangan di atas. "seperti rotan, aku hanya melengkung, tidak patah."
Sedang natsir, pun tiada henti melukis kenangnya pada Ehrenfest. Prof. Paul Ehrenfest, Guru Besar yang kehilangan ideal. "Demikian wetenschap! Ruhaninya dahaga kepada suatu tempat berpegang yang teguh, satu barang yang absolut dan mutlak. Tempat menyangkutkan sauh bila ditimpa gelombang kehidupan, tempat bernaung yang teduh, bila datang pancaroba ruhani. Semua ini tak mungkin diperdapatnya dengan semata-mata berpuluhan dalil, ratusan aksioma dan hipotese yang diperolehnya dengan wetenschap itu." (Natsir: 1940)
Kembali pada jalan menuju Toba. Testimony Natsir juga semboyan Karno, tiada untuk diemban serta. Sebab andai pun seperti rotan melengkung, tiadalah akal merdeka dapat berkelana. Demikian hal nya dengan wetenschap, mustahil menjadi perlabuhan, sebab akan ada hayat ruhani yang tak bisa dipuaskan.
Bersambung…
Komentar
Posting Komentar