KAMMI dan "sumu" Jakarta-ku
Aku
Selagi dalam masanya, aku ingin tetap hidup menjadi KAMMI dominan. Yang produktif tanpa membuang waktu, tanpa membuang desah di tengah deru.
Hasrat detik-detik ku, adalah ribuan karya sepenuh sadar, yang disengaja, yang tertuju mulia.
Aku ber-asa, menyambung nafas, di luar Jakarta sana. Menegakkan pengabdian, menyita jam demi jam untuk segala yang ada dalam tangan, pikir, dan rasa ridlo ku.
Ibu kota bagiku, laksana menyerahkan diri pada ketidak becusan pengelola kota, pada pejabat yang gagal berdiri, yang terperangkap, yang tersekam dalam bingungnya; akan diapakan fatahillah ini. Sebagian orang bermimpi, urban, untuk hidup yang layak. Tapi kelayakan hidup bagiku jauh tidak layak jika distandarkan pada materi dan modernisasi.
Ber-KAMMI bagi ku adalah karir, yang berjenjang yang bertujuan, yang menghasilkan. Yang aku cintai sebagai jalan menuju pulang. Pulang kepada Allah.
Ber-KAMMI aku sungguhi, karena tiada permainan yang boleh diketengahkan dalam hidup, dalam memilih apapun. Dalam suratan yang jelas dari sebuah firman, Al-Anbiyaa ayat 1.
Gelisahku semakin kelu, jiwa ku terbelenggu pada ketidak bebasan masa. Pada hamburnya waktu yang tersia, yang ku habiskan dalam antrian panjang kendaraan kota. Aku memang tidak sabar terkadang, meski dzikir ku hiaskan dan ku dakwah kan, pada mereka yang juga akrab tertahan di ruas jalur Ibu Kota negara.
Suci ku, Allah ku, Rabbunaa, sepanjang apa kejenuhan akan diurai. Ujian selalu berulang pada manusia yang tiada sanggup selesai kan kasusnya. Ujian selalu kembali pada mereka yang tak berhasil melalui. Aku sadari.
Sebait pesan kitab suci harus dicukupkan. "Tapi-ku" keluar lagi menafi, menafi dengan pembenaran bahwa hidup adalah kumpulan amal. Sejalan dengan suratul Mulk di ayat ke dua nya.
Sedang, tiada ahsan, tiada kebaikan yang terbit dari gundah.
Aku gundah dengan perasaan tidak suka.
Selagi dalam masanya, aku ingin tetap hidup menjadi KAMMI dominan. Yang produktif tanpa membuang waktu, tanpa membuang desah di tengah deru.
Hasrat detik-detik ku, adalah ribuan karya sepenuh sadar, yang disengaja, yang tertuju mulia.
Aku ber-asa, menyambung nafas, di luar Jakarta sana. Menegakkan pengabdian, menyita jam demi jam untuk segala yang ada dalam tangan, pikir, dan rasa ridlo ku.
Ibu kota bagiku, laksana menyerahkan diri pada ketidak becusan pengelola kota, pada pejabat yang gagal berdiri, yang terperangkap, yang tersekam dalam bingungnya; akan diapakan fatahillah ini. Sebagian orang bermimpi, urban, untuk hidup yang layak. Tapi kelayakan hidup bagiku jauh tidak layak jika distandarkan pada materi dan modernisasi.
Ber-KAMMI bagi ku adalah karir, yang berjenjang yang bertujuan, yang menghasilkan. Yang aku cintai sebagai jalan menuju pulang. Pulang kepada Allah.
Ber-KAMMI aku sungguhi, karena tiada permainan yang boleh diketengahkan dalam hidup, dalam memilih apapun. Dalam suratan yang jelas dari sebuah firman, Al-Anbiyaa ayat 1.
Gelisahku semakin kelu, jiwa ku terbelenggu pada ketidak bebasan masa. Pada hamburnya waktu yang tersia, yang ku habiskan dalam antrian panjang kendaraan kota. Aku memang tidak sabar terkadang, meski dzikir ku hiaskan dan ku dakwah kan, pada mereka yang juga akrab tertahan di ruas jalur Ibu Kota negara.
Suci ku, Allah ku, Rabbunaa, sepanjang apa kejenuhan akan diurai. Ujian selalu berulang pada manusia yang tiada sanggup selesai kan kasusnya. Ujian selalu kembali pada mereka yang tak berhasil melalui. Aku sadari.
Sebait pesan kitab suci harus dicukupkan. "Tapi-ku" keluar lagi menafi, menafi dengan pembenaran bahwa hidup adalah kumpulan amal. Sejalan dengan suratul Mulk di ayat ke dua nya.
Sedang, tiada ahsan, tiada kebaikan yang terbit dari gundah.
Aku gundah dengan perasaan tidak suka.
Komentar
Posting Komentar