Refleksi dari Sebait Notulensi Perempuan KAMMI Jakarta

 Melukis Warna Masa Depan Jakarta
            Menjelang pemilihan gubernur Ibu Kota, jagat perpolitikan tanah air dibuat riuh menyoal kandidat atau bakal calon yang akan mengisi kursi pemerintahan DKI 1. Sebagai Ibu kota negara, Jakarta tentu menjadi trend setter gerakan yang menjadi representasi dari Indonesia di mata bangsa dan dunia. Kesibukan ini pun dilengkapi dengan rencana pilkada yang akan dilakukan serentak di tahun 2017 nanti. Aktivitas paling wajar dari fase pemilihan pemimpin ini adalah adanya pengenalan tokoh yang menjadi tumpuan harapan masyarakat dalam membawa perubahan tata kehidupan yang lebih baik. Dan disinilah momen setiap warganya melukiskan warna masa depan.
Sejauh ini, upaya pengenalan tokoh yang akan dicalonkan sebagai pimpinan pemerintahan daerah ataupun pusat, dilaksanakan dengan cara kampanye langsung ataupun tidak langsung, yang pada intinya mengacu pada personal branding, sebagai legitimasi masyarakat dalam menentukan pilihannya kelak. Hal ini selalu menjadi fenomena yang asyik untuk diamati dan dievaluasi, bagaimana pola perilaku masyarakat dalam mengimbangi arus demokrasi pasca reformasi. Anomali masyarakat inilah yang juga menjadi basis kajian dalam menentukan pola pendekatan suksesi demokrasi, bagaimana setiap calon dan tim suksesnya mencoba memahami persepsi masyarakat yang sudah terbangun dari apa yang mereka alami dan rasakan sekian lama. Seperti kepuasan masyarakat terhadap kinerja, pelayanan, dan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjaga stabilitas politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan dari daerah yang dipimpinnya. Masyarakat Jakarta dengan tingkat intelektualitas di atas rata-rata memerlukan strategi politik jitu yang mampu mengakomodir hajat demokrasi, sehingga dapat mengahasilkan kesesuaian peran pemimpin DKI Jakarta yang relevan dan optimal.
Opini publik yang terbangun dalam “melabeli” Jakarta, merupakan lukisan warna masa depan Ibu kota. Warna-warni inilah yang menjadi hasil dari setiap keterpilihan aktor utama Ibu Kota. Sehingga aspek kesadaran kritis dari seluruh lapisan warga harus lebih dikedepankan dalam melihat peluang dan menentukan pilihan. Memilih pemimpin adalah soal menentukan masa depan, yang memiliki loyalitas dan kepedulian, sedang peduli adalah derivasi dari rasa cinta. Loving is caring, drieving is believing. 

Ibu dan Ibu Kota; Kepedulian Yang Mempesona
            Seorang perempuan yang sosoknya lebih dikenal sebagai budayawan, ditemui sekelompok perempuan yang tergabung dalam Departemen Perempuan KAMMI Wilayah Jakarta dalam agenda jaulah atau kunjungan tokoh awal Maret silam. Agenda ini biasanya dimaksudkan sebagai ajang silaturahim dan bertukar gagasan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan dunia keperempuanan. Dalam sejarahnya yang cukup panjang, Indonesia tidak menemukan cukup banyak nama yang ditokohkan sebagai perempuan pembawa perubahan. Walaupun sejatinya, setiap perempuan memiliki peran determinan terhadap suatu perubahan. Ialah sebagai sumbu peradaban yang seringakali dipopulerkan dalam istilah “Al-Umm Madrasatul Uula”, Ibu adalah sekolah pertama (bagi anak-anaknya). Tentunya sebagimana fungsi utama dari sebuah sekolah ia akan memberikan berbagai pengajaran yang akan menjadi bekal bagi kehidupan generasinya kelak. Sehingga lembaga pendidikan tersebut disyaratkan untuk memiliki beragam sarana guna membangun kelayakannya. Demikianpun dengan perempuan, tuntutan sarana yang perlu dilengkapinya ialah beragam pengetahuan dan keahlian yang akan menunjang perbekalannya dalam melakukan aktivitas mendidik kelak.
            Kembali pada sosok yang dibincangkan. Usianya yang tidak lagi muda, melabeli statusnya sebagai seorang Ibu, dimana pada umumnya, memiliki peran dan pemikiran yang mudah terbaca dan lumrah. Namun manakala sendi-sendi kebangsaan dapat dipahaminya dengan baik, ia akan mewujud sebuah kepedulian yang mempesona. Dan itulah yang ditemukan pada sosok seorang Ratna Sarumpaet sementara ini. Pembahasan yang berkelindan adalah seputar dinamika yang terjadi di Indonesia sampai mengerucut pada kompleksitas persoalan di Ibu Kota Negara.
            Dalam pembacaanya, dari sekian solusi yang dicanangkan untuk memperbaiki kondisi negeri, ada satu hal yang menjadi substansi dan penting untuk digalakan, ialah kembali pada asas pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Keduanya ia yakini sebagai rumusan dari cita-cita luhur yang telah disepakati bangsa Indonesia dalam meninggikan derajat hidup berbangsa dan bernegara. Ia menuturkan “Kita butuh kekuatan besar untuk mengembalikan bangsa ini kepada asas pendiriannya”.
            Gerakan perempuan sejatinya harus mampu membentuk formasi-formasi yang substantif dan aplikatif, sehingga kehadirannya dapat dirasakan sebagai sebuah kebermanfaatan yang pantas dipertahankan. Menjadi suatu hal yang istimewa manakala seorang Ibu mampu memanifestasikan kesadarannya di luar ruang-ruang domestik. Ratna adalah anggapan sementara yang dinilai ‘pas’ dengan gambaran itu. Bagaimana kemudian ia mengungkap itikad mulia dalam memulihkan Ibu Kota Negara dari unsur kepemilikan orang lain (asing). Hendaknya itu jua lah menjadi bagian dari tindak dan gerak aktivis perempuan dalam menjaga keutuhan negara dan bangsanya.
            Aktivis mahasiswa perlu sedini mungkin mengecap kesadaran yang berdimensi global, sehingga dapat teraktualisasi menjadi sikap dan perilaku yang tegas dalam mendudukan kebenaran. Kebenaran yang jujur memilah antara hak dan rampasan.


             

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEBAGAI INSTRUKTUR KAMMI (1)

Harusnya, Munadzomun Fii Syu'unihi

SEBAGAI INSTRUKTUR KAMMI (2)